Jumat, 29 November 2013

CERPEN : BECAUSE OF LOVE (2)

selamat pagi semua..” sapa eby kepada keluarga kecilnya saat sarapan pagi.
“Pagi sayang, senang banget kelihatannya?” tanya mamanya.
“Just right, mom. Eby memang lagi seneeeng banget”
“Karena apa? ada job..?” tanya papa nya.
“Ada 2 hal yang membuat ebby bahagia pa. yang pertama karena ebby diundang ke sebuah perusahaan ternama yang ada di Manado. yang kedua… cukup ebby yang tahu, hehe”
“Diundang? maksud kamu?”
“Jadi gini pa. Tadi pagi, mbak sisil telpon. Katanya, ada perusahaan yang nawarin kerja sama dengan perusahaan nya. Perusahaan itu tertarik dengan desainan-desainan gaun yang ebby buat, makanya eby diundang ke manado. semua biaya mereka yang tanggung.”
“Kapan berangkat nya.” tanya papa lagi.
“Hari ini pukul 15.00 wib.”
“Hari ini? sama siapa by. mama khawatir. kuliah kamu gimana?”
“ebby sudah bilang ke dosen ebby. dan beliau tidak mempermasalahkan nya.”
Setelah lama meyakinkan kedua orang tua nya, akhirnya mereka menyetujui keberangkatan ebby ke kota manado sore nanti.
“Tapi papa sama mama gak bisa ngantar kamu sampai bandara, by. Karena ada acara di kantor”
“Iya, ebby ngerti kok, ebby bisa berangkat sama kak dika,” kata ebby dengan tersenyum kepada dika. Dika hanya bisa mengangguk lugu dengan senyumnya yang dingin.
Waktu berjalan dengan cepatnya Pukul 14.00 wib, eby sudah berada di bandara. hanya dika yang menemani eby saat itu, tanpa derren. Sebenarnya hal itu membuat eby sedikit kecewa.
“Derren kemana, by.” tanya dika.
“Gak tahu kak. Sudah dari pagi tadi ebby coba hubungin dia, tapi nomornya gak aktif. Hanya satu pesan yang dia kirim tadi siang, dia bilang lagi sibuk.” ebby menjadi manyun.
“Apa kamu memang benar-benar sayang sama derren.” tanya dika, kemudian.
“Iya, kak. Dari dulu malah. hehe.. em emangnya kenapa? tumben kak dika tanya gitu.”
Dika tak langsung menjawab pertanyaan ebby.
“Apa derren juga merasakan apa yang kamu rasa ke dia?” tanya dika lagi.
Ebby tertegun dan menggeleng. kemudian dengan perlahan ebby mulai bercerita. Bercerita tentang awal pertemuannya dengan derren, tentang kedekatan mereka, Sampai pada akhirnya eby menyukai derren. Dari dulu hingga sampai saat ini, rasa itu tak kunjung hilang.
“Tapi yang ebby tak mengerti adalah kenapa derren memberikan perhatiannya namun dari dulu sampai sekarang derren tak pernah mengatakan cintanya pada ebby.”
“apa hal itu membuat kamu merasa sakit, atau…”
“Iya kak, sakit banget malah. Secara tidak langsung derren menggantung perasaan ebby. Coba aja sekarang kak dika berada di posisi ebby, yang deket sama seseorang, dan orang itu memberikan perhatian, pengertian, yang lebih. Tapi orang tersebut tak pernah menyatakan cintanya. Dan kedekatan kami ini tidak hanya 1 atau 2 bulan saja, tapi sudah 3 tahun kedekatan ini terjalin.”
“Terus apa yang akan elo lakukan, by?”
“ebby masih gak tahu kak. mungkin ebby akan tetap menunggu kak. Karena eby benar-benar menyayangi derren.”
“Sampai kapan?”
“Sampai eby tahu siapa yang sebenarnya ada di hati derren. Entah itu eby atau orang lain.”
Dika hanya bisa tertegun dan tersenyum.
“Gue salut sama elo, by. Ternyata seorang eby bisa sekuat ini. Semangat, semoga elo dapetin cinta elo. Jangan pernah putus asa dalam berjuang untuk mendapatkan cintanya derren.” Kata dika dengan memberi support untuk eby, walaupun sebenarnya saat itu hatinya sakit dan kecewa, melihat seseorang yang dicintainya, ternyata mencintai orang lain.
“Thanks kak dika, mulai sekarang gue Febby arsyanti akan berusaha sekuat tenaga untuk dapetin cinta derren” . Mereka berdua sama-sama tertawa.
Namun Pembicaraan mereka segera terhenti, karena pesawat yang ditunggu ebby telah tiba.
“Hati-hati, by. Tetap jaga kesehatan elo”
“Oke.. ebby berangkat dulu”
Dika mengangguk dan melepas senyum melihat kepergian eby. Sebenarnya dika juga tak bisa melepas eby sendirian tanpa ada dirinya di sampiing eby sekarang. Karena dika begitu mengkhawatirkan eby.
“pagi, by.” sapa mbak sisil dalam telpon.
“Pagi juga, mbak. Tumben telpon pagi-pagi gini, ada apa?”
“Iya, mbak Cuma mau ngasih tahu kamu kalau desainan gaun baru kamu, kemarin dilirik orang bahkan orangnya mau membelinya. Menurut kamu…”
“Wow, benarkah? good… udah mbak jual aja ke oraangnya..”
“Beneran? padahal mbak pengen kamu yang make, by.”
“Haa.. udahlah mbak, kasih aja. Ini rezeki kita. peluang mbak…”
“Hmm, ya udah deh, kalau itu mau kamu. Bagaimana dengan kamu disana, by”
“Oke. Eby disini baik-baik aja, nanti siang eby ada rapat. kemungkinan besok eby udah kembali ke jakarta.”
“Ya udah mbak lanjut kerja ya, by. Baik-baik disana.”
“ya, thanks mbak,”
Tuuut… sambungan telpon ditutup.
Eby segera bergegas mandi. Dan segera berangkat ke kantor.
Hufffttt… Eby menghembuskan napas lega. Akhirnya rapat siang ini sudah selesai dengan hasil yang menggembirakan. Eby berhasil meyakinkan pihak perusahaan untuk bekerja sama dengan perusahaan mbak sisil. Yeahhh…
Eby melihat handphone nya. Tak satu pun sms yang masuk. Derren kemana ya, tiba-tiba ngilang gini. Derren kenapa sih elo selalu gini. Seenaknya datang dan pergi ke hati gue. Gue yang merasakan sakitnya, bukan elo. Pikiran eby melayang kemana-mana. Tapi hanya satu yang dituju, derren. Ya eby tengah memikirkan derren. Hingga makan siangnya ia abaikan.
Tapi seharusnya gue gak boleh gini. Kata kak dika gue harus tetap semaangat dalam memperjungkan cinta gue. Harus, seorang eby tidak boleh putus asa.
Segera saja eby mengambil ponselnya untuk menelpon derren dan dika tapi alhasil gak ada yang aktif semua. Ngebetein banget… batin eby.
Dengan lesu eby kemudian kembali ke hotel untuk menyiapkan barang-barangnya. karena besok pagi, eby harus segera ke bandara.
Tringgg.. sebuah SMS dari mbak sisil masuk.
> eby… semuanya udah beres. gaun udah terjual dan ternyata kita diundang juga by.. dalam acara pertunangan orang yang membeli gaun itu.
> hah? seriusan. kita diundang. waaa seneng banget eby mbak… eby pengen ngelihat pengantin perempuannya. Cantik gak make gaunnya..
> waah sudah pasti cantik, by. gaunnya aja mewah kaya gitu.
> iya, mbak. oh ya, eby berhasil mbak. mulai minggu depan kita sudah resmi menjadi partner kerja mereka.
> oh ya, alhamdllah deh, kamu emang bisa di andelin, by. terimakasih ya..
> Iya, sama-sama?
Kota manado ternyata indah juga, ya. Dilihatnya pemandangan kota dari atas balkon hotel. sangat indah. Kotanya gak sepadat jakarta. Eby menjadi betah tinggal di manado, kota yang nyaman.
Perasaan baru sebentar disini tapi besok harus kembali ke jakarta lagi. Tapi ya sudahlah, semoga setelah sampai jakarta nanti, gue langsung ketemu derren. I miss you, my derren…
Keesokan pagi nya, eby berangkat ke bandara tanpa ada yang menemani. Gak kaya kemarin di jakarta. Masih ada kak dika yang nemenin gue, batin ebby. Tapi kenapa gue jadi merasa rindu bertemu kak dika ya… aduh… udah deh jangan pikirkan hal lain. Hanya derren yang boleh memasuki ruang pikiran gue. hee lebay dikit
Satu jam empat puluh lima menit, kemudian pesawat penerbangan manado-jakarta telah tiba. Dan dengan perlahan pesawat yang ditumpangi eby meninggalkan tanah manado. Good bye.. kota manado.
“Eby…” teriak mamanya saat eby baru saja membuka pintu rumahnya.
“Mama… eby kangen mama sama papa..” kata eby dengan memeluk mamanya.
“Papa kemana, ma. kok sepi. kak dika juga gak ada, tumben banget.
“Papa masih di kantor sayang, kalau kak dika… dika, sudah tidak di jakarta lagi,”
“maksud mama..”
“Kemarin, kak dika berangkat ke london. Om jaya menjemputnya kemarin.”
Dug.. jantung eby berdetak, eby kecewa, karena kedatangannya tak ada lagi dika. Dan entah mengapa eby merasa ada yang hilang di hatinya. Tapi eby sendiri tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan hatinya.
“Ya udah, cepat mandi, kemudian kita makan bareng, sebentar lagi papa juga pulang, by”
“Ya, mam.” ucap eby dengan lemas.
Seperti kata mamanya, eby segera membersihkan diri. Tapi nafsu makannya mendadak hilang. Eby merebahkan tubuhnya.
Ufffttt… capek juga perjalanan singkat kemarin.
Kak dika? pikirannya tertuju pada dika. Eby mencoba menelpon dika, tapi hasilnya tetap nihil. Kenapa sih, pada ngilang gini, gak derren nya, ini lagi kak dika yang gak ada!!!. kak dika, kenapa gak bilang ke eby kalau mau pindah. Padahal eby pengen banget ketemu kak dika. ugghhf… eby merebahkan tubuhnya. Memikirkan dika lagi.
Treeed… getar handphone tanda pesan masuk.
Satu pesan dari mba sisil masuk.
> nanti sore jam 18.30 wib, mbak jemput kamu…
> hah? jemput kemana mbak… balas eby.
> kamu pasti lupa, jam 19.00 wib ada acara pernikahan di tempat orang yang membeli gaun kita, kemarin…
> oh.. iya-iya. oke.. balas eby. Padahal sebenarnya ebby masih merasa capek.
Eby melihat jam dinding, baru menunjukkan pukul 12.50 wib, emm.. masih punya waktu untuk istrahat. Perlahan eby memejamkan matanya.
Tok.. tok,
“By, kamu udah siap?” Kata mbak sisisl di luar pintu.
“Oh udah, mbak.” kata eby seraya membuka pintu kamarnya.
“Yu by, kita berangkat sekarang.”
“Oke, mbak…”
Eby kemudian meminta izin kepada papa dan mamanya.
“Hati-hati, kalian” Pesan papanya.
“Oke, pa. daaahh..”
Setelah itu mbak sisil segera melajukan mobilnya.
Pesta pertunangan dilaksanakan di sebuah gedung. Dari luar terlihat sangat megah. Gila… tajir benar yang punya acara ini, batin eby. sepintas bayangan derren muncul di benaknya. Andai saja yang akan tunangan di gedung ini, gue sama deerren. Hmm… eby tersenyum-senyum sendiri.
Tiba-tiba handphone eby bergetar, ternyata dika yang menelpon nya.
“Em mbak sisil duluan aja, eby lagi ada telpon mbak. Ntar eby menyusul”
“oke, by. Cepat ya..”
Eby pun mengangguk dan segera mengangkat telpon tersebut.
“Hallo, kak dika”
“iya by, ganggu gak”
“Em gak, kok. Ada apa kak”
“kak dika Cuma mau minta maaf, karena pergi gak bilang sama elo, by. mendadak banget sih, saat itu. Oh ya.. gimana kabar kamu”
“oh iya, gak apa-apa kok. Yang penting sekarang kak dika udah hubungin eby. kalau kabar eby sih baik-baik saja, kalau kak dika?”
“syukurlah. iya baik juga. Emm pesan kak dika jaga diri elo baik-baik. kalau ada apa-apa langsung hubungin kak dika, karena sebenarnya gue khawatir sama elo, by”
“iya, kak dika. Tenang aja. eby baik-baik disini. Makasih atas perhatiannya. EM.. kalau gitu udah dulu ya, eby ada acara nih, kak. nanti malam kita sambung lagi”
“oh oke. bye.. bye.. Ebby”
“bye kak dika”
Eby segera menutup pembicaraanya dengan dika dan buru-buru masuk ke acara pesta.

Kamis, 28 November 2013

CERPEN : CINTA LEWAT KAMERA

Pagi yang cerah untuk mengawali hari ini dengan bersekolah sebagai siswi SMA Nusa kelas 10 C. Ditemani oleh teriknya mentari, sejuknya angin di pagi hari, dan secangkir kopi hangat di meja kantin sekolah. Sambil meneguk kopi hangat dan tanpa sadar telah hanyut dalam lamunan layar kaca handphone yang di dalamnya terselip foto seorang lelaki tampan idamanku selama ini. Lelaki tampan itu namanya Aris Al-Gusti, dia adalah murid SMA Bangsa kelas 11 yang cukup populer, dia dikenal sebagai pemain basket yang jago dan fotografer handal. Aku mengenalnya dari salah satu teman bbm yang membroadcast pin bb dia yang akhirnya aku invite dan berlanjut untuk aku mem-follow twitternya dan add facebooknya sampai ke akun social media lainnya. Meskipun aku belum pernah bertemu dengannya langsung padahal kami tinggal di kota yang sama, meskipun berbeda sekolah dan aku pun belum pernah berkenalan secara resmi dengannya meskipun aku tau namanya. Ya biarlah aku terus menjadi pengagum rahasianya tanpa ada orang lain yang tau selain Tuhan dan sahabatku Hanna.
Baru saja aku terhanyut dalam lamunan dan meneguk secangkir kopi hangat itu, kedatangan sahabatku Hanna justru mengagetkanku.
“Nina!!” teriakkan yang tak asing lagi bagiku, sudah pasti itu Hanna.
“Apa sih, Han? Bikin kaget aja tau gak.” Ucapku lalu menaruh cangkir kopi itu di atas meja.
“Ngapain coba lo masih diem disini sambil mandang foto cowok idaman lo itu? Kenapa lo gak pergi aja buat liat langsung cowok itu daripada cuma liat dari foto?” sindir Hanna.
“Gue harus ketemu dia dimana? Ngeliat dia sekali aja belum pernah selain di foto.”
“Duh.. lo itu ketinggalan jaman atau kudet (kurang update) sih? Cowok idaman lo itu sekarang lagi ada disini, di lapangan basket sekolah kita dan bentar lagi sekolah dia bakalan tanding basket lawan tim sekolah kita. Ayo buruan! Tunggu apa lagi!” belum sempat aku merespon perkataan Hanna, ia sudah menarik tanganku kencang-kencang dan berlari menuju lapangan basket.
Pertandingan basket seperti ini memang sangat biasa di kalangan anak-anak sekolah karena acara seperti ini memang dilakukan setiap tahunnya dan inilah saat yang disukai seluruh siswa, dimana setiap acara ini diselenggarakan seakan pelajaran sekolah terlupakan dan dihentikan sementara waktu. Pertandingan baru saja dimulai, anak-anak bersorak mendukung tim sekolah SMA Nusa. Hanna pun malah ikut-ikutan bersorak, sedangkan aku hanya terdiam tak tau apa yang harus aku lakukan. Rasanya otakku berhenti berfikir dan jantungku seakan berhenti berdetak karena tak menyangka dapat bertemu dengan lelaki tampan itu, apalagi ini adalah kali pertama aku bertemu dengannya. Hanna menyuruhku agar aku ikut menyemangati cowok idamanku itu, awalnya aku malu dan takut tapi ku coba memberanikan diri.
“ARIS!!! SEMANGAT YA KAMU PASTI BISA!!” teriakku kencang.
Aris pun menoleh ke arahku lalu membalasnya dengan senyuman manis. Tak ku sangka ia tersenyum padaku, sontak saja senyumku pun ikut mengembang bebas. Salah satu teman Aris justru memberi tau Aris jika ada salah satu perempuan SMA Nusa yang berteriak namanya di antara teman-temannya yang bersorak menyemangati tim SMA Nusa.
“Ris, lo liat deh itu ada cewek anak SMA Nusa yang nyemangatin lo di antara temen-temen lainnya yang nyemangatin tim sekolahnya sendiri, gak nyangka lo cukup popular juga disini.” Ucap salah satu teman basket Aris.
“Ah loe bisa aja bro! udah fokus main aja.” Bisik Aris.
Pertandingan berakhir dan dimenangkan oleh SMA Nusa. Sampai anak-anak tim basket SMA Bangsa pulang pun tak ada respon apapun dari Aris, padahal aku sudah menyemangatinya sampai suaraku hampir habis rasanya, tenggorokan pun rasanya kering. Ada perasaan kecewa karena tak mendapat simpati dari Aris, tapi ada juga rasa senang saat mengingat senyuman manis Aris yang ditujukan padaku. Sepulang sekolah, aku langsung merebahkan diri di kamar, melepaskan semua beban yang ada rasanya sangat nyaman. Beruntung saja, selama seminggu kedepan akan libur jadi aku tak perlu pusing-pusing memikirkan tugas sekolah karena ada acara olahraga yang diselenggarakan tersebut jadilah seluruh siswa diliburkan. Hari ini adalah hari pertama aku dan keluargaku akan pindah rumah, pindah ke sebuah perumahan komplek. Ayah dan Ibu memang sengaja memilih rumah di sebuah komplek agar aman, karena rumahku yang lama ini letaknya ada di pinggir jalan raya jadi terkadang banyak asap kendaraan dan debu yang masuk, yang membuat mimisanku sering kambuh.
Keesokan paginya, aku menyusuri jalanan sekitar komplek untuk berjalan-jalan sambil melihat suasana komplek baru itu sambil membawa kamera digital untuk mendapatkan momen-momen baru yang akan aku temukan disini. Aku menemukan sebuah taman depan komplek yang tempatnya sangat bersih dan asri. Aku pun menyegerakan duduk lesehan di atas rumput taman itu sambil memotret bunga-bunga taman yang indah bermekaran.
Aris pun sedang tinggal menginap di rumah sepupunya di satu komplek yang sama denganku, tepatnya rumah itu berada persis di depan rumah baruku. Aris memang anak tunggal jadi wajar jika ia merasa kesepian di rumah jadi ia sering menginap atau sekedar bermain-main di rumah sepupunya ini. Aris pun sering berjalan-jalan di sekitar komplek dan biasanya suka berduduk santai di taman depan komplek. Dan di waktu yang bersamaan itu pun, tak sengaja Aris sedang mencari objek foto yang bagus melalui lensa kameranya, sampai ia menangkap sebuah momen lewat kameranya dimana saat aku sedang memotret bunga di taman. Ia merasa puas dengan hasil fotonya ini, belum pernah ia merasa sepuas ini setelah mendapatkan objek foto yang bagus. Ia sangat mengakui bahwa objek difotonya itu sangatlah cantik dan indah. Ia lalu terus mencoba menangkap kembali momen yang indah dan menjadikan aku sebagai objek fotonya, saat ia melihat kameranya dan mencoba memotretku lagi tapi aku melihat ke arah lensa kameranya, segera saja ia bersembunyi dan menyelinap agar tidak ketahuan. Karena aku merasa ada yang telah memotretku secara sembunyi-sembunyi, aku mencoba mencari dan mendekat ke arah orang tersebut. Namun, begitu aku mendekat untuk melihatnya lebih dekat, ia justru sudah tidak ada. Jadilah, aku penasaran dengan orang itu. Aku tak tau jika itu adalah Aris, cowok idamanku itu. Setelah itu, aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah.
Dengan perasaan senang, Aris buru-buru ke rumah dan langsung menemui sepupunya, Mas Adit. Untuk memberi tau kejadian apa yang baru saja menimpanya, ia bertemu dengan seorang bidadari cantik dan itu adalah objek foto terindah yang pernah ia lihat. Mas Adit bingung, tak percaya, dan tak mengerti yang dimaksud oleh adik sepupunya itu. Langsung saja Aris menunjukkan foto-foto tersebut pada mas Adit. Sekarang, mas Adit baru tau dan mengerti bahwa yang dimaksud oleh Aris itu adalah Nina, tetangga barunya. Segera saja, Aris tidak sabar untuk segera meminta sepupunya itu mengenalkan perempuan ini padanya. Mas Adit hanya geleng-geleng kepala melihat perubahan tingkah yang aneh pada sepupunya ini.
Malamnya, mas Adit dan Aris datang ke rumahku membawa sebuah parcel kecil yang berisi banyak coklat, mereka sengaja datang ke rumahku untuk sekedar berkenalan dan ngobrol. Awalnya, aku sangat kaget begitu melihat Aris ada di depan rumahku dan tak ku sangka ia justru datang ke rumahku bersama mas Adit. Tubuhku rasanya menjadi beku seketika, bibirku bergetar, tangan dan kaki ku serasa panas dingin, aku sendiri pun bingung harus bersikap bagaimana di hadapannya. Mereka pun akhirnya menjelaskan keinginan mereka untuk datang kemari. Kami bertiga pun berkenal dan ngobrol di paviliun depan rumahku.
“Hai. Kamu tetangga baru kan disini? Aku tetangga baru kamu, itu rumahnya di depan rumah kamu hehe.” ucap mas Adit mencoba untuk akrab.
“Hai juga. Oh iya iya.”
“Sebenernya niat kami datang kesini mau kenalan, sebenernya sih yang ngebet pengen kenalan itu sepupu aku, ini orangnya.” Kata mas Adit menunjuk kepada Aris. Aris langsung menginjak kaki mas Adit yang dinilai telah salah bicara.
“Kenalin, aku Adit dan ini Aris sepupu aku yang lagi nginep di rumah aku.”
“Oh iya, aku Nina.”
“Namanya secantik orangnya.” Ucap Aris pelan yang sedikit samar ku dengar.
“Oh iya, ngobrolnya di paviliun aja biar lebih enak. Ayo!” ajakku.
Setelah bercengkrama dan cerita cukup lama, barulah aku tau kalau yang tadi siang itu adalah Aris yang memang sengaja memotretku tanpa sepengetahuan diriku. Ada secercah harapan dalam hati dan pertanyaan yang terbesit dalam dada, mungkinkah Aris menyukaiku?
Setelah kembali bercerita-cerita ternyata Aris pun masih mengingat dan hafal betul wajahku ini, bahkan dia masih ingat kalau cewek SMA Nusa yang kemarin pagi menyemangatinya itu adalah aku. Betapa senangnya hati ini serasa ingin terbang jauh ke angkasa.
“Kayaknya kita pernah ketemu deh sebelumnya. Tapi dimana yah?” ucap Aris sambil mengingat. Aku sengaja terdiam, mengetes kemampuan ingatannya.
“Oh iya aku inget, kamu cewek anak SMA Nusa yang kemarin nyemangatin aku kan waktu pertandingan basket. Iya kan?” ucap Aris memastikan.
“Heh Ris! Geer banget sih lo jadi orang, jangan asal ngomong deh.” Bisik mas Adit yang juga terdengar olehku.
“Hmm.. iya emang bener kok itu emang aku yang waktu itu nyemangatin kamu.” Ucapku sedikit ragu.
“Tuh kan berarti aku gak salah lagi dong.”
“Pede banget sih lo Ris!” bisik mas Adit yang lagi-lagi menyindir Aris.
Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 10 malam, mas Adit dan Aris pun memutuskan untuk pulang dan berjanji esok akan datang kembali. Tentu saja aku mengamini niatannya tersebut. Hingga aku masuk dalam rumah pun, aku langsung menghempaskan tubuhku di atas kasur rasanya ingin benar-benar terbang begitu tau Aris sangat menyukaiku sebagai objek fotonya, rasanya seperti mimpi tapi ini bukan mimpi. Lalu, aku menyempatkan diri untuk menelepon Hanna hanya untuk sekedar memberi tau berita bahagia ini, Hanna saja masih tak percaya, mungkin ia mengira bahwa aku ini hanya menghayal tapi tentu saja ini kenyataan. Sampai akhirnya tengah malam barulah aku menutup teleponku yang sedari tadi masih asik saja ngobrol dengan Hanna. Karena letih, dengan cepat pun aku langsung terbawa kealam tidur.
Paginya, aku kembali pergi ke taman dekat komplek untuk sekedar mencari hiburan dengan mengabadikan momen indah saat bunga-bunga masih segar bermekaran dengan bintik-bintik tetesan air embun semalam menjadikannya lebih indah, lebih hidup dan lebih berwarna. Ternyata tanpa ku sadari, Aris kembali mencuri-curi momen untuk memotret dengan kameranya, mengabadikan kecantikkanku yang katanya mengalahkan bunga-bunga yang ada di taman tersebut. Tapi untuk kali ini, Aris ketahuan sedang memotretku secara diam-diam. Aku pun langsung menghampirinya dan akhirnya kami berdua malah saling cerita ngalor-ngidul (kesana-kemari). Saat sedang asik bercerita, tiba-tiba aku bersin dan hidungku mengeluarkan darah yang itu artinya aku mimisan (lagi). Dengan sigap, Aris langsung mengambil saputangan miliknya dari saku dan mengusapnya pada hidungku yang telah banyak mengeluarkan darah.
“Nina, hidung kamu berdarah!” ucap Aris lalu segera mengusapkan darah itu dengan saputangannya.
“Gapapa Ris, ini cuma mimisan biasa kok.”
“Biasa gimana? Kamu udah cek ke dokter belum?” ucapnya sedikit panik.
“Udah, dulu udah pernah cek ke dokter kok katanya cuma mimisan biasa kalau kena debu. Nanti juga darahnya berhenti sendiri kok.”
Setelah darahnya telah berhenti mengalir, Aris mengantarku sampai depan rumah barulah dia juga pulang ke rumah mas Adit.
Besoknya, aku sekedar duduk-duduk di paviliun sambil minum secangkir capucinno hangat dan mengingat-ingat kembali kejadian malam itu sewaktu Aris mengajakku berkenalan dengan datang langsung ke rumahku. Otakku seperti memutar kembali kejadian-kejadian itu yang hampir membuatku lupa diri. Samar-samar aku mendengar suara seseorang yang memanggil namaku, aku pun menoleh dan mencari-cari keberadaan orang tersebut. “Nina!” ternyata itu adalah suara Aris yang memanggilku dari balkon kamar tidur sepupunya. Sambil melambaikan tangan ia berteriak namaku. Aku pun membalasnya dengan senyum manis dan seakan ikut melambaikan tangan. Aris memberiku isyarat agar aku menunggunya disini dan dia akan turun untuk menyusulku. Tentu saja aku menyanggupi isyaratnya tersebut. Aris menyusulku di paviliun sambil membawa kamera digitalnya. Kami pun ngobrol-ngobrol sebentar di paviliun lalu ia mengajakku pergi kesuatu tempat yang bagus untuk hunting foto. Aku pun menyanggupinya, lalu kami berdua pergi ketempat yang tidak begitu ramai dan jauh dari pusat kota sehingga tidak banyak kendaraan yang lewat apalagi asap kendaraan bermotor. Tempat ini masih bersih dan terasa sejuk karena rumput-rumput hijau yang tumbuh subur disini, seperti taman tapi lebih mirip padang ilalang atau padang rumput. Kami berdua pun segera hunting foto berdua dan mengambil momen-momen indah hingga sore itu tiba dan kami menunggu saat yang tepat yaitu sunset atau matahari terbenam. Beruntung saja, Aris sempat menangkap momen indah tersebut yang mana di gambar itu pun ada bayanganku yang nampak melihat ke arah matahari tersebut, mungkin itu hal yang mudah bagi Aris karna dia kan fotografer handal. Jadi setiap momen yang dia tangkap pasti hasilnya selalu bagus, berbanding jauh dengan aku. Tapi aku senang, di dalam kameranya semua ternyata banyak sekali fotoku yang berhasil ia tangkap tanpa sepengetahuan aku. Agak sedikit kesal memang karena ada beberapa foto yang memang jelek, menurutku. Tapi, Aris bilang semua objek foto yang ia foto padaku itu semua bagus dan indah.
Aku dan Aris memang pulang agak kemalaman, ya baru jam 8 malam sih tapi kami sudah pergi dari pagi jadi bisa terhitung berapa lama kami pergi. Tapi untunglah, ayah dan ibuku tak marah padaku karena pulang kemalaman, mereka malah meledekku karena dari kemarin aku begitu dekat dengan Aris. Yah tak apalah, aku pun justru senang diledek seperti itu. Dan setelah mengenalku, kini Aris lebih sering menginap di rumah mas Adit ketimbang di rumahnya sendiri dengan alasan ingin selalu bertemuku. Tapi orangtua Aris pun tak melarang jika ia terus menginap di rumah mas Adit.
17 Februari 2013 adalah tepat dimana kini hari ulang tahunku. Tidak ada perayaan khusus memang atau perayaan secara besar-besaran layaknya tahun-tahun sebelumnya. Tapi yang berbeda tahun ini adalah kehadiran Aris dalam hidupku yang kini semakin berarti, ia memberiku sebuah kado istimewa yang berisi bingkai foto berwarna hitam klasik yang di dalamnya terselip berbagai macam fotoku dengan latar dan waktu yang berbeda dan yang membuatku terkejut lagi, di foto tersebut ada sebuah tulisan yang sangat berarti “Would you be my girl?” tentu saja aku mengamini pertanyaan tersebut dan tepat pada hari ulang tahun ku tersebut lah aku dan Aris akhirnya betul-betul menjadi seorang pasangan kekasih. Thanks God! The dream comes true. Aris is mine.

TENTANG KITA Oleh Elly Supriana


Banyak Hal yang telah kita lalu bersama
Kadang benci,kesal Dan kecewa serta senang Dan sayang 
Sungguh luarbiasa

Sadarkah sahabat,, 
semua itu kita jalani bersama
Hari demi hari,waktu demi waktu 

Sahabat...
Ingatkah,disaat kita menikmati kebersamaan
Banyak Hal terlewatkan begitu saja 
Keceriaan,canda tawa, semuanya mengalir begitu saja 
Waktu yang tersisa seakan tak mampu menampungnya 
Dengan waktu yang sangatlah singkat membuatku aku teringat akan "tentang kita" 

Rabu, 27 November 2013

CERPEN : UNTOLD STORY

I have been here for you..
Cause, I don’t want to see you feel lonely anymore..
Leon berhenti memetik senar gitar setelah ia selesai menyanyikan lagu ciptaannya sendiri. Seperti biasa, aku menyambutnya dengan tepuk tangan riuh. Seakan habis menonton pertunjukkan seorang bintang besar. Kami berdua duduk di bawah naungan pohon besar yang usianya mungkin sudah ratusan tahun. Usianya semakin menua seiring dengan pertambahan usia kami berdua.
Leon.. Laki-laki bertubuh jakung, berkulit kuning langsat, berambut cepak terlihat kumal karena keringat yang membanjir. Kami berdua masih memakai seragam sekolah. Kubiarkan semilir angin menerbangkan rambutku.
“Hahaha.. Nggak kerasa ya.. sekarang kita udah jadi murid SMA!” seru Leon riang. Ia kemudian merebahkan dirinya ke atas padang rumput dan membiarkan gitarnya bersandar pada batang pohon.
Menanggapi perkataan Leon, aku hanya bisa mengangguk mantap, “Bener.. Dan, nggak kerasa juga persahabatan kita udah menginjak usia yang kelima tahun!”
Leon meringis, “Nggak nyangka.. ternyata sampai segitunya kamu ngitungin berapa lama kita bersahabat..”
“Jelas dong.. kamu tahu kan kalau masalah hitung-hitungan dan hapalan itu aku jagonya?” timpalku membusungkan dada.
Leon melayangkan sentilan jari telunjuknya ke dahiku. “Sombongnya…”
Tiba-tiba, aku mendesah perlahan. “Kita kan udah jadi anak SMA.. Berarti kita udah cukup usia dong buat tahu bagaimana rasanya jatuh cinta?”
Kali ini, Leon tampak menegang. Telinganya terasa geli, karena tak biasa mendengarku membicarakan tentang cinta. “Halah.. Itu mah gak usah dipikirin kali.. Nggak penting juga lagian. Kalaupun kita sekarang ini lagi cinta sama seseorang, paling juga cuma cinta monyet.” Leon yang terlalu cuek urusan cinta menanggapi dengan seadanya.
Bibirku mengerucut. Kesal.. Leon selalu tidak asyik buat ngobrol soal cinta, “Huh.. Pantesan aja nggak ada yang suka sama kamu. Orang kamunya aja cuek gitu..”
“Biarin.. Wekk..” Leon menjulurkan lidah setelah itu ia memalingkan wajahnya dan kemudian memejamkan mata. Aku mendengus kesal. Menyusul Leon, aku pun ikut berbaring di atas rumput dengan menjadikan tangan kananku sebagai bantalannya. Perlahan-lahan kedua mataku bergerak, mengikuti pergerakan awan yang mulai berwarna orange dengan corak keunguan. Cukup lama..
Kutarik napas panjang. Aroma rumput bercampur bau parfum khas Leon memenuhi indera penciumanku. Akh, aku selalu senang saat-saat seperti ini. Kumiringkan badanku ke samping kiri, memandang wajah Leon yang kedua matanya tampak damai terpejam. Menikmati saat-saat dimana matahari sebentar lagi akan tenggelam.
Leon.. Kenapa sih dia begitu cuek urusan cinta? Padahal, kalau dia mau membuka hatinya pun, ada banyak cewek di luar sana yang mau jadi pacarmu..
Tiba-tiba, aku jadi teringat, akan percakapanku bersama dengan teman-teman tadi pagi, di kelas. Sewaktu Leon sedang pamit untuk pergi ke toilet. Hampir seperempat gadis di kelas mengerubungi mejaku hanya untuk mengobrak-abrik info mengenai Leon. Dan dengan senang hati aku menjawab pertanyaan mereka satu per satu dan sebagai balas jasanya, mereka memberikanku tip.
Memang sih.. Leon itu kalau dilihat-lihat tampan juga.. cool tepatnya. Pose tubuhnya proporsional, pintar, peduli dan perhatian.
Ketika aku sedang monolog dengan pemikiranku sendiri, Leon tiba-tiba membuka mataku dan menangkapku basah sedang memperhatikannya lamat-lamat. Waduh.. mati aku!
“Ngapain kamu?” tanya Leon spontan. Dia langsung beranjak duduk. Aku mengikutinya dengan gelagapan. Bingung harus jawab apa. “Waduh.. jangan-jangan, kamu berencana jadiin aku cowok incaran pertamamu nih?” sambungnya ge’er. Dia hanya bisa bersikap seperti itu padaku. Pada cewek lain, tidak.
Aku tertawa geli.. Mana mungkin?
“Enak aja… Nggak mungkin lah aku suka sama kamu. Dan, asalkan kamu tau.. kalau aku suka sama kamu pun, kamu bukan cowok incaran pertamaku tau..”
Leon terkejut mendengar fakta yang baru saja kukatakan tadi. Saking terkejutnya, dia sampai membelalakkan mata. “Siapa?”
Senyuman penuh misterius terlukis pada wajahku, “Ada deh..” Sekarang giliranku mengulurkan lidah.
“Ayolah.. kasih tau aku! Siapa dia? Hari? Gilang? Langit?” Leon menyebutkan nama cowok-cowok keren di SMP maupun di SMA yang sempat dekat denganku.
Semua tebakannya salah. Sehingga aku menggeleng-gelengkan kepala, “Bukan..”
Kembali, Leon bersikap seperti anak kecil dengan memasang wajah kekanak-kanakannya di hadapanku. Sekali lagi, dia hanya bisa berbuat seperti itu hanya padaku.
Tak lama kemudian, bunyi dering handphone-nya terdengar. Segera Leon mengangkat teleponnya dan ternyata itu telepon dari ibunya yang meminta Leon untuk segera pulang ke rumah karena ada sesuatu yang harus ia kerjakan.
“Beneran nih kamu nggak mau pulang bareng aku?” tawar Leon yang kesekian kalinya setelah terus-terusan kutolak. Dengan yakin, aku tetap menganggukkan kepala.
“I still want to stay in here” sahutku mantap. Leon menyerah… Ia bangkit berdiri, membawa gitarnya dan mengucapkan kalimat perpisahan. Aku masih duduk memandanginya berjalan menjauh dengan langkah yang kurang yakin. Hahaha.. Aku tahu, sebagai sahabat yang baik, dia mencemaskanku.
Akan tetapi, untuk hari ini, aku memang benar-benar ingin tinggal lebih lama disini. Menikmati pemandangan alam yang tak kutemui di tempat lain.
Disini.. Sendirian.. Membawaku pada kenangan 5 tahun yang lalu. Bergeser aku mendekati batang pohon yang sudah tertutupi oleh lumut. Aku masih ingat betul dimana aku menggoreskan namanya… Nama cowok incaran pertamaku.. Yang bisa membuatku merasa jatuh cinta untuk pertama kali meskipun aku pada waktu itu masih berusia 10 tahun. Dan, cowok itu juga lah yang membuatku menunggu bahkan sampai sekarang ini..
Walaupun dulu, ia pernah menyakiti perasaanku. Walaupun dulu, ia pernah membuatku menangis selama berhari-hari. Entah kenapa, aku masih mencintainya.. menunggunya… bahkan sampai detik ini.
Aliran air mata bening perlahan-lahan menetes.
Aku… bagaikan seorang putri tidur yang hanya bisa menunggu ada pangeran datang menemuinya. Menjemputnya.. dan mencintainya dengan setulus hati.

Selasa, 26 November 2013

CERPEN : DIBALIK CADAR NAJWA

Wanita dengan sosok bercadar berlari ketakutan dalam rintikan hujan sampai ia tak sadarkan diri dan terjatuh tepat di depan gerbang pesantren. Udara sangat dingin ditambah hari yang mendung menambah kegigilan semua orang. Begitu yang dirasakan olehku, seorang putra kiyai H. Jauhari, di kehidupan pesantren dan di lingkungan santriwan-santriwati. Di rumahku yang disebut ndalem tampak ayahku H. Jauhari sedang menghangatkan tubuhnya di perapian, ia memanggilku ketika aku lewat.
“Wafa…” terdengar abah memanggilku. “….ikutlah menghangatkan tubuhmu, di luar udara sangat dingin.” Lanjutnya.
“Iya, Bah.” Aku terdiam memandangi wajah abah yang mulai keriput, tampak guratan-guratan di wajahnya yang semakin kentara.
“Kenapa? sepertinya kau ada masalah, benarkah?”
“Tidak Bah, Wafa tidak ada masalah apapun.” Jawabku berusaha menutupi, aku bingung harus bicara apa. “Abah lelah…?” lanjutku.
“Tentu saja, kau tahu sendiri abah baru saja mengisi pengajian pahingan seperti biasanya, alhamdulillah jama’ahnya semakin bertambah.”
“Alhamdulillah…” jawabku “tapi… abah tidak boleh terlalu kelelahan, abah harus banyak istirahat, abah kan sering kumat penyakitnya, sebaiknya serahkan saja urusan pondok dengan Kang Abdul, dia kan orang kepercayaan Abah, ilmunya juga tidak jauh beda dengan abah, hanya saja Kang Abdul belum mau naik haji.” sambungku
“Kenapa harus Kang Abdul? kau juga bisa kan wafa?” ketus abah, aku hanya mengerutkan dahiku.
“Ah, abah mana mungkin, Wafa belum mampu!”
“Lantas apa gunanya gelar sarjanamu itu? hanya untuk dipajang saja di dinding!” ledek abah membuatku membisu, aku tak sanggup berkata-kata lagi. Perkataan abah telah berhasil membungkam mulutku. Aku hanya menundukkan pandanganku dan berharap semoga Abah tak menanya-nanyaiku lagi. Kalau dilanjutkan aku bingung harus menjawab apa.
Lima detik telah berlalu, hujan di luar belum tampak tanda-tanda akan berhenti. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan kami.
“Seandainya saja Ummi masih ada, tentu ada yang merawat dan menasehati abah.”
Abah hanya mengernyitkan dahinya seraya berkata “tidak baik berandai-andai, menyalahi takdir namanya kamu kan tahu! biarkan Ummi mu tenang disana.” jawabnya
“Astaghfirullah…! maaf Bah, Wafa khilaf.”
Lima menit telah berlalu lagi. Dalam rintikan hujan yang semakin reda tiba-tiba semua santri geger karena menemukan sosok wanita bercadar yang tergolek tak sadarkan diri di gerbang pondok. Wanita tersebut segera diangkat ke Asrama putri.
“Siapa Dul?” tanya abah pada kang Abdul yang tampak panik.
“Saya juga tidak tahu Kiayi, kang Sholeh sama anak-anak putra yang menemukan wanita itu di depan gerbang sudah tidak sadarkan diri.”
Abah sangat penasaran, beliau dan kang Abdul masuk ke Asrama Putri, mereka ingin tahu siapa wanita tersebut, sementara santri-santri lain pun geger dibuatnya. Sementara Aku, Kang Sholeh dan lainya hanya menunggu di ndalem [1] juga dengan rasa penasaran, kami bukanlah orang-orang yang berhak masuk ke Asrama Putri semaunya. Kami sabar saja menunggu di ndalem, sementara kang Sholeh dan santri lainya kembali ke asrama masing-masing karena sebentar lagi adzan maghrib akan segera dikumandangkan.
Setelah sholat maghrib wanita bercadar itu siuman dan langsung dibawa ke ndalem, kali ini aku dapat melihatnya secara langsung. Di ruang keluarga aku dan Abah langsung menemui wanita itu yang mengaku bernama Najwa. Setelah selesai makan, Najwa yang kelelahan mulai bicara.
“Namaku Annajwa, kenapa aku bisa sampai sini karena aku dikejar-kejar oleh orang yang hendak menculik dan berniat jahat padaku. Saya yatim piatu, saya tidak memiliki keluarga maupun saudara, saya hanya seorang wanita musyafir maafkan saya karena telah meerepotkan kalian semua, saya harus segera pergi dari sini walau tak tahu harus pergi kemana?” ujar wanita bercadar itu dengan penuh keprihatinan, wanita berjilbab, wajah yang tetutup cadar hanya bola matanya yang hitam yang bisa kupandang, benar-benar wanita muslimah yang anggun, Ahh… aku tersadar dari lamunanku saat abah menyuruhku menyiapkan kamar untuk gadis itu.
“Siapkanlah kamar untuknya, untuk sementara Najwa tinggal di ndalem karena dia pasti butuh ketenangan.” perintah abah padaku.
Abah kembali berbincang-bincang dengan gadis itu ditemani Kang Abdul dan Mba’ Marsolah sebagai santriwati senior di pesantren, sementara aku beres-beres kamar yang akan ditempati wanita yang bernama Najwa itu. Sambil menyiapkan selimut, bantal tiba-tiba aku terbayang wanita bercadar itu. Dalam benakku “Annajwa… nama yang bagus, pasti sebagus parasnya juga akhlaknya, anggunya… berapa ratus santriwati disini tapi… baru kali ini aku melihat sosok wanita muslimah yang benar-benar anggun! Astaghfirullah!” aku tersadar betapa aku telah berfikir yang tidak-tidak tentang wanita itu, aku kembali ke ruang keluarga.
“Abah, kamarnya sudah siap.”
Abah langsung menyuruh wanita itu untuk istirahat di kamar. “Istirahatlah di kamar ditemani mba’ Marsolah, sementara ini tinggalah di Pesantren ini jadilah santri disini jika ada apa-apa jangan sungkan-sungkan pada kami. “tutur abah penuh perhatian, betapa ia tidak tega melihat perempuan musyafir itu yang hidup sendiri sebatang kara. Mba’Marsolah segera membawanya ke kamar. Aku, Abah dan kang Abdul siap-siap untuk sholat Isya di Musholah.
“Apakah tidak apa-apa jika wanita itu disini?” tanya Kang Abdul membuka pembicaraan sambil berjalan menuju mushola.
“Memangnya kenapa?” balik tanya Abah
“Ya, kita kan enggak kenal kiayi!”
“Lha, terus mentang-mentang nggak kenal lantas kita membiarkanya begitu saja, sementara dia sedang susah dan butuh pertolongan, apalagi dia seorang musyafir muslimah, sudah sepatutnya kita menolong, Dul! kamu kan tahu!”
“Iya sih Kiayi.”
Mereka mulai berwudhu, sementara aku diam saja pada masalah ini. Aku tidak ingin terlalu ingin ikut campur karena apapun keputusan Abah, itu pasti mungkin yang terbaik. Kami siap-siap sholat berjama’ah.
Pagi harinya setelah sholat subuh seperti biasanya warga pesantren langsung melaksanakan aktivitas-aktivitas hariannya, begitu pula Aku mengajar di kelas santri putra untuk mengajar diniyah ba’da subuh seperti biasanya. Sementara Najwa, wanita bercadar itu masih terlelap dalam tidurnya bahkan ia telah melewatkan sholat subuh sampai si Raja siang muncul. Jam 07.00 pagi aku dan Abah sarapan pagi.
“Kang Abdul kemana Bah?” tanyaku
“Abdul kan hendak ke Yogyakarta, salah satu keluarganya ada yang hajat.”
“Oh… pagi-pagi sekali.”
“Biarlah, sudah lama dia tidak pulang kampung.”
“Iya juga sih.”
Sambung Abah. “Oh ya, hari ini Abah ada undangan di Pesantren Pak Burhan, jadi kamu di pesantren saja jangan kemana-mana, siapa tahu nanti ada tamu, Kang Abdul kan tidak ada.”
“InsyaAllah Bah.”
Suasana ndalem yang sepi semua orang di Pesantren larut dalam aktivitas masing-masing, hanya aku dan wanita bercadar itu saja yang tidak kemana-mana, ku lihat wanita itu sudah bangun dari tidurnya menuju dapur.
“Maaf, kalau hendak sarapan sudah disediakan di meja makan, silahkan…” sapaku dengan lembut.
“Terima kasih.” suaranya yang lembut mulai berucap. Aku terkesima melihat keanggunanya, dibalik cadarnya pasti tersimpan wajah yang anggun. Ia pun tersenyum dibalik cadarnya. Oh, inikah yang namanya Cinta? Cinta memang hadir dalam begitu banyak wajah, seribu atau bahkan ribuan wajah cinta telah menyapaku ketika aku mengundangnya untuk memasuki kehidupanku. Ah…! aku benar-benar telah tenggelam di dalam alur kehidupan cinta, bukan alasan yang tepat bagiku untuk mengabaikan cinta. Apakah di hadapanku adalah cintaku?.
“Hey..! anda melamun? saya belum mengenalmu.” ia membuyarkan lamunanku.
“Oh ya, tentu! namaku Wafa, senang berkenalan denganmu.”
“Nama yang bagus, sesuai dengan ketampananmu.”
Aneh, gadis muslimah itu benar-benar berbeda dari wanita-wanita muslimah lainnya. Sapaan dan kata-katanya seakaan-akan begitu menggoda. Mungkin ini hanya perasaanku saja, karena terkubur dalam lamunan cinta. Segera aku keluar dari ndalem. Tapi aku tidak bisa membohongi hatiku, aku benar-benar jatuh cinta padanya rasa ini timbul dengan sendirinya, tentu aku harus menyapanya dengan pikiran sehatku.
Beberapa hari telah berlalu bahkan rasa sukaku kepada Najwa telah diketahui oleh Abah.
“Kalau kau memang tertarik padanya, jadikanlah ia istri mu, Abah rasa sudah sepantasnya kau menikah.” ujar abah mendukung.
“Tapi… Wali nya?”
“Kalau wali nasab tidak ada kan masih ada wali hakim.”
Aku tersenyum, betapa semanagatnya aku untuk menghitbah Najwa, gadis bercadar itu.
“Jadikanlah dia menjadi bagian dari keluarga pesantren ini.”
“InsyaAllah, Bah.”
Tapi ternyata keanggunan paras Najwa tak seanggun hatinya. Niat baikku ini disalahgunaan oleh Najwa, ia akan memanfaatkan kekayaan orang tuaku, kami akan benar-benar di kelabui oleh pikiran licik wanita bercadar itu. Kami saat ini benar-benar bodoh karena telah percaya begitu saja. Karena ternyata Najwa bukanlah wanita baik-baik, tidaklah seperti yang kami kira. Ia berhasil menipu kami semua sampai aku menikahinya. Sampai akhirnya aku menghitbah Najwa dan kami sah sebagai suami istri.
Pesan Abah padanya. “Najwa, jadilah istri yang sholehah jangan sekali-kali kamu meninggalkan suamimu, berikan kebahagiaan dan rawatlah suamimu serta anak-anakmu kelak.”
Abah berharap Najwa bisa menjadi istri yang baik dan bisa membahagiakan ku, itu sudah menjadi harapan setiap orang tua, terutama aku adalah anak satu-satunya Abah. Aku meneteskan air mata, sementara Najwa yang licik kini telah menjadi istriku di otaknya telah tersusun rapih rencana-rencana licik yang akan menjatuhkanku dan keluargaku. Tapi apa mau dikata kami tak pernah tahu akan sifat busuknya itu, yang kami tahu Najwa adalah sosok wanita baik-baik apalagi ia berkerudung terlebih bercadar pula tak pernah terpikirkan dibenakku akan kejahatannya. Hati Najwa berkata. “Aku benar-benar hebat! aku telah berhasil mengelabui Wafa dan Kiayi itu! dasar bodoh! dengan mudahnya aku menjadi istri anak kiayi yang kaya dan termasyhur, dengan begitu aku bisa merampas kekayaan mereka dan segera pergi dari sini, aku harus pergi keluar negri sebelum polisi mengetahui keberadaanku.” ia tersenyum pasi seraya menaikkan sebelah alis matanya.
Saat malam pertamaku ini Najwa menolak berhubungan denganku dengan alasan ia sangat lelah dan belum siap. Dengan sabarnya aku memberi pengertian, bahkan begitu seterusnya selalu ada alasan untuk menolak ia hanya bilang. “Maaf Mas, aku sedang berhalangan jadi Mas bersabar ya…”. Aku terus sabar.
Bahkan sudah hampir satu bulan pernikahan kami, tapi sampai saat ini aku belum pernah menafaqohi batinku layaknya suami-suami pada umumnya. Di benakku mulai muncul kecurigaan, bahkan aneh tapi aku selalu berhasil dikelabuinya. Di belakangku ia senyum sisnis, hatinya tertawa-tawa karena telah berhasil mengelabuiku. Di tengah malam dikala semua warga pesantren telah lelap dalam tidurnya, dengan beraninya Najwa wanita bercadar itu masuk ke dalam kamar Abah, ia mengambil semua perhiasaan peninggalan Ummi. Abah tidur dengan pulasnya sehingga tak menyadari perhiasan-perhiasan almarhummah istrinya telah lenyap, Najwa lah pelakunya.
Sebelum subuhan abah menyempatkan menyaksikan berita di televisi, berita itu mengabarkan adanya buronan polisi seorang wanita yang bernama Gubara, wanita berkedok musyafir muslimah yang saat ini menyamar sebagai wanita berjilbab dan bercadar yang kabur dari tahanan setelah dua minggu ditahan dengan kasus pembunuhan dua orang lelaki, bukan hanya itu saja tetapi juga sebagai pekerja s*ks kelas atas sekalligus pengedar nark*ba. Abah terkejut saat mendengarnya jantuungnya terasa berhenti mendengarkan penuturan pembawa berita di tv itu yang menampilkan foto Najwa alias Gubara yang menjadi buronan polisi, abah benar-benar syok karena ia memiliki menantu seorang buronan.
Pada saat yang sama ternyata Najwa mendapati Abah tengah menyaksikan berita tentangnya. “Gawat! Kiayi ini telah tahu siapa aku sebenarnya!!” pikirnya cemas dalam hati.
Tapi abah tenang-tenang saja tak tampak ada kebencian ketika melihat Najwa. Karena ia sadar wanita bercadar bukanlah hanya Najwa saja, mungkin hanya kebetulan saja wajahnya hampir serupa. Tapi Najwa yang takut dan panik segera bertindak, dengan manisnya Najwa menyuguhi Kiayi segelas minuman teh yang sudah ia campurkan racun mematikan. Benar-benar perempuan licik.
“Abah, alangkah enaknya nonton televisi sambil ditemani teh hangat, di minum Bah.” ia menyuguhi sambil tersenyum pasi.
“Iya terima kasih, suami mu belum bangun tumben-tumbenan biasanya selalu bangun lebih awal.” ujar Abah sambil meneguk teh hangat yang beracun itu. Najwa memandang dengan penuh kebencian, tertawa dalam hati karena sebentar lagi maut menjemput sang Kiayi.
Azan subuh berkumandang, seperti biasanya kami tak pernah telat untuk sholat berjamaah, termasuk aku walaupun pagi ini aku bangun sedikit telat, mungkin karena terlalu lelah, sehingga tidurku lelap sekali. Kami berjamaah bersama para santri. Tapi kali ini tumben-tumbenan untuk kang Abdul yang sedang minum kopi panas, ia tampaknya sedang malas berjamaah, entah setan apa yang telah mempengaruhnya. Abah tak pernah telat untuk mengimami jamaah subuh, aku juga sedikit aneh karena Abah terlihat begitu pucat. Jamaah subuh pun berlangsung. Setelah usai salam yang pertama Abah langsung tergolek lemas, dari mulutnya keluar banyak busa kental. Seisi mushola benar-benar terkejut dan panik terlebih aku. Aku menangis tatkala Abah menghembuskan nafasnya yang terakhir. “Prangg!!!” cangkir kopi kang Abdul pun jatuh pecah ke lantai, benar-benar firasat buruk.
Ku genggam tangan Abah yang dingin dan kaku. Urat nadinya tak berdenyut lagi.
Ya Allah!apakah malaikat maut telah membawa Abah pergi tanpa sepengetahuanku!.Seisi pesantren pun ikut geger atas kepergian Kiayi mereka. Kini telah kusaksikan Abah yang telah disambut oleh maut. Semua orang yang menyaksikan mencucurkan air mata. Ya, air mata kesedihan.
Pagi hari yang kelam bendera kuning telah berkibar dalam kebisuan. Angin sepoi pagi melangkah dalam penderitaan dan kedukaan. Langit pun menurunkan hujan turut berduka cita atas belas kesedihanya. Roh nya mengucapkan selamat tinggal pada dunia, ia menghela nafas penghabisan. Apakah aku patut menyalahkan maut! karena ketidakadilannya padaku. Tapi inilah takdir, Abah akan menemui Ummi di surga Firdaus.
Pagi ini almarhum Kiayi akan segera dimandikan, dikafani, disholati dan segera dikebumikan, tentu dengan meninggalkan banyak kenangan di Pesantrennya yang sudah lama di pimpinnya bahkan menjadi salah satu Pesatren termasyhur. Kini pesantren berduka, pesantren benar-benar berkabung atas kepergian tuan mereka.
Seminggu sudah kepergian Abah, kini hanya aku dan Kang Abdul yang memimpin Pesantren aku berharap pesantren Abah ini akan selalu berdiri kokoh bersama ratusan santri yang mengabdi demi menimba ilmu yang barokah. Segala acara kang Abdul dan kang Sholeh yang mengatur, aku juga mengisi beberapa acara pengajian menggantikan Abah. Walau bagaimanapun aku adalah penerus Kiayi yang akan meneruskan perjuangan beliau di pesantren. Semoga Allah merestuinya InsyaAllah…
Ahad pahing kali ini aku yang mengisi ceramah ini untuk yang pertama kalinya. Dengan sengaja Najwa mendengarkan dari samping luar mushola. Matanya mulai berkaca-kaca dan akhirnya meneteskan air mata kesedihan, jujur baru kali ini ia menangis. Hatinya seakan-akan luluh ada perasaan yang berbeda terhadapku. Ia melirikku, apakah ia mulai menyukaiku? Aku memberi kesempatan melirik kepadanya dengan senyum sapa.
“Aku telah menemukan cintaku.” gumam Najwa dalam hati. Ia merasa beribu-ribu bersalah padaku dan keluargaku.
“Aku harus pergi! aku tidak boleh disini ini bukan tempatku! ini bukan duniaku.” Dengan mengenda-ngendap dari belakang asrama putra karena lebih dekat dengan jalan besar, ia berusaha keluar dari lingkungan pesantren. Dalam keadaan was-was tiba-tiba kang Sholeh mengagetkanya.
“Neng Najwa? sedang apa disini?”
Najwa benar-benar kaget dan berteriak kecil.
“Apa-apaan sih kamu mengagetkan saya!” bentaknya
“Maafkan saya Neng, saya Cuma heran saja kenapa Neng Najwa bisa ada disini.”
“Ahh… itu… itu… aku… aku..” jawabnya terbata-bata. “Aku sedang mencari Mas Wafa!”
“Loh, kan kang Wafa sedang mengisi pengajian di mushola.”
“Oh iya, aku lupa ya sudah! saya ke mushola sekaran, permisi!” jawabnya ketus. Aneh tingkahnya benar-benar mencurigakan. Kang Sholeh kembali ke Asramanya.
“Mir, tadi aku bertemu Neng Najwa gerak geriknya sangat mencurigakan.” Bisik kang Sholeh pada Amir
“Kang Sholeh tidak boleh suudzon, dia kan juga pemilik pesantren ini jadi bebas mau ngapa-ngapain…”
Bola mata kang Sholeh benar-benar dalam dan hitam, ia telah merasakan keanehan pada Najwa. Segera ia tepis pikiran-pikiran buruknya jauh-jauh.
Malam ini aku sangat lelah seharian ini aku sibuk dalam acara pengajian pahingan, mungkin inilah yang dirasakan Abah dulu. Najwa yang masih disini karena gagal untuk kabur tadi siang, ia menghampiriku.
“Mas wafa lelah…?” sapanya dengan lembut.
“Ya, tentu saja sepertinya badanku pegal-pegal semua.” jawabku menggeliat.
Najwa sebenarnya ingin berterus terang kepadaku dan keluarga pesantren yang lain, tapi ia takut aku kaget dan pikirnya mungkin aku bisa membunuhnya karena murka atas kejahatannya. Semenjak kepergian Abah akibat ulahnya, ia dihantui rasa bersalah sudah banyak korban yang jatuh karena kebiadabanya. Najwa memandangku cemas keringat dingin bercucuran. Di luar mulai rintik-rintik hujan sejak sore tadi memang langit terlihat mendung, beberapa hari ini memang sering hujan, padahal belum waktunya musim penghujan. Baru saja Najwa akan mengatakan sesuatu, tiba-tiba kami kedatangan tamu yang tak di duga-duga. Tiga orang polisi berseragam dua laki-laki dan satu perempuan. Kami kaget terlebih aku, pikirku ada apa ini? kenapa kami berurusan dengan polisi. Kami segera keluar Aku, Kang Abdul dan beberapa Ustadz menghampiri di ruang tamu ndalem. Sementara Najwa menguping dari dalam kamar dalam keadaan ketakutan dan gemetar tubuhnya basah kuyup bagai mandi. “Tamatlah riwayatku…” pikirnya cemas.
“Permisi, sebelumnya kami mohon maaf mengganggu aktivitas anda, kami dari pihak kepolisian mendapat kabar kalau buronan kami telah lari dan dikabarkan bersembunyi di lingkungan pesantren. Kami akan mendata santriwati disini sekaligus mengintrogasi beberapanya, di mohon izinnya.” Kata salah satu polisi itu.
“Iya pak, kami persilahkan.” jawabku dengan kang Abdul
Sementara itu semua santriwati geger dan panik, padahal mereka tak mungkin dinyatakan bersalah. Najwa sendirian di kamar dalam kebimbangan dan ketakutan bercampur rasa bersalah. “Bagaimanakah nasibku…?” lirihnya gemetar.
Introgasi selesai tidak tampak ada kecurigakan. Para polisi itupun berpamit pada kami. Najwa seedikit lega pernapasanya mulai berfungsi lagi. Aku menghampirinya di kamar.
“Najwa, kau sangat pucat sakit kah?”
“Tidak Mas, aku tidak apa-apa.”
“Ya sudah, sebaikya kita segera tidur, hari sudah malam nanti kita bangun lalu mujahadah bersama, akhir-akhir ini Mas merasakan akan datangnya sebuah masalah. Kita harus lebih banyak mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.”
Najwa menangis, di kamar hanya aku dan istriku ini kubuka cadarnya dan ku hapus air mata yang membasahi pipinya, entah apa yang membuatnya menangis.
“Kenapa kau menangis?”
Allah telah membuka pintu hatinya untuk bisa mencintaiku dengan setulus hati bukan karena harta belaka.
“Jangan ceraikan aku Mas… apapun yang terjadi…”
“Apa maksudmu…?” Tanyaku heran.
Najwa tak kuasa menahan tangis, ia pandangi wajahku yang tengah menatapnya heran. Ia sadar selama ini ia hidup bersama orang yang perhatian dan mencintainya dengan tulus. Aku hanya mengira mungkin ia hanya merasa bersalah karena sampai saat ini belum memberikan nafaqoh batinnya.
“Aku tak pernah punya pikiran untuk menceraikanmu, aku sangat mencintaimu apa adanya…” Jawabku
Ketika baru saja akan kucium keningnya, di luar ribut kembali dengan suara kegaduhan, bukan karena hujan melainkan datangnya kembali para polisi kali ini bukan tiga orang polisi tapi beberapa mobil polisi mengepung dari luar pesantren.
“Apa yang terjadi?”
Pintu kamarku segera digedor-gedor dengan kasarnya. Setelah pintu terbuka polisi langsung menangkap Najwa dengan kasarnya tanpa perasaan bahwa dia istriku, bukan binatang. Kami mulai ribut karena kemarahanku atas ketidaksopanan mereka, aku juga tidak tahu apa permasalahannya.
“Wafa! Istrimu ini adalah buronan polisi yang lari dari tahanan lalu dia lari kepesantren ini, aku telah membaca berita-berita tentangnya juga laporan polisi beserta foto-foto yang beredar, dia menyamar sebagai wanita musyafir dan berkedok sebagai muslimah! dia wanita biadab! dia Gubara yang menyamar sebagai Annajwa!”.Jantungku terasa berhenti berdetak, penuturan Kang Abdul benar-benar mengagetkanku. Ternyata ia yang melaporkan pada polisi. Setelah mengetahui kejahatan Najwa dan kang Abdul segera menghubungi polisi. Kini terungkap semua tabir kejahatan Najwa alias Gubara. Najwa segera diseret keluar dengan jeritan histeris.
“Mas Wafa… Maafkan aku…!”
“Aku tidak menyangka kau…!” aku benar-benar syok.
“Berikan aku kesempatan tuk bicara….!” polisi merenggangkan pegangannya memberi kesempatanya untuk bicara.
“Maafkan aku mas, aku telah menghianatimu, aku memang jahat selama ini aku telah menghianati kalian semua!” di hadapan kami dan seluruh santri, Najwa yang nama aslinya adalah Gubara menjelaskan semuanya. “Aku memang seorang buronan, aku lari dari tahanan setelah dua minggu ditahan dengan banyak kasus, aku telah membunuh dua orang lelaki yang telah meniduriku tanpa meninggalkanku sepeser uang pun. Aku adalah wanita pengh*bur di hotel ternama! aku seorang pel*cur Mas! aku juga pemakai nark*ba. Aku telah terjangkit Virus HIV, makanya aku selalu menolak pabila mas mengajakku berhubungan. Kau terlalu mulia Mas, kau terlalu suci untuk tertular virus jahannam ini, aku tidak mau menyakiti lebih banyak orang lagi! walau bagaimanapun aku telah menaruh cinta padamu.”
Badanku gemetar, otakku terasa akan pecah. Aku benar-benar syok, ku jambaki rambutku. Astaghfirullahh… aku benar-benar tak menyangka akan menikahi wanita penzina dan pembunuh seperti dirinya pikiranku telah kacau.
“Kau manusia atau hewan!” bentakku keras di hadapannya
“Aku akui aku memang wanita bajingan Mas, aku juga yang telah meracuni abahmu sampai meninggal, karena dia telah tahu siapa aku sebenarnya, aku pula yang telah mengambil perhiasan Ibu mu!”
Kemarahanku semakin meledak, tanganku sampai melayang di wajahnya, kalau bukan karena dihalang oleh kang Abdul mungkin sudah kubunuh wanita baj*ngan itu. Aku hilang kendali.
“Biarkan aku mematahkan batang lehernya!!!” kang Abdul merangkulku. “Jangan Kang! eling kang.. eling.!”. Saat itu pula Najwa lepas dari genggaman polisi, Ia lari dari halaman pesantren lari ke arah jalan raya, semua polisi segera bertindak. Beberapa santri ikut mengejarnya. Di malam yang hujan ini benar-benar malam yang penuh dengan kemarahan. Peristiwa ini benar-benar bagai petir yang menghujamku.
Najwa wanita bercadar itu terus berlari. Di buka jilbab yang selama ini menutupi auratnya sampai ia hilang kontrol, ia tak menyadari telah melaju cepat mobil berwarna hitam. “Tiiiinnnn!!!” kerasnya suara klakson mobil itu tak memberi kesempatan Najwa untuk menghindar. Tubuhnya di hantam mobil itu, terdengar suara jeritan Najwa teriakannya memecah keramaian suara gemuruh hujan. Darah membanjiri tubuhnya yang tak lain adalah Gubara.
Selang beberapa hari Najwa lepas dari masa kritis dan berhasil diselamatkan, bahkan saat ia siuman aku berada di sampingnya. Walau bagaimanapun ia masih istriku.
“Mas…”
“Kamu jangan banyak bergerak, kamu masih sangat lemah.” tuturku penuh kasih sayang, aku tak larut dalam kebencianku.
“Maafkan aku Mas, aku telah menghianati cinta sucimu.”
“Sudahlah bukan saatnya membahas itu, aku mencintaimu dan membutuhkanmu di sampingku dengan kesejatian dan kebahagiaan hidup, bukan dengan kepalsuan yang terus menerus menyeretku dalam kesemuan semata.”
“Ceraikan aku Mas, aku terlalu kotor untukmu, carilah pendamping hidup yang lebih suci dariku aku tidak pantas untukmu.”
“Tapi…!”
“Aku mohon, aku tak ingin menambah kesalahanku untuk yang kesekian kalinya.” ia memohon hal yang berat bagiku.
“Baiklah jika itu maumu…”
“Aku akan ditahan seumur hidup, aku tidak akan membiarkan Mas menantiku. Tapi sebelumnya aku ingin meminta maaf pada keluarga pesantren, karena aku telah mencoreng nama baik pondok terutama pada kalian semua.”
Maka esok harinya Najwa bersama polisi datang ke Pesantren untuk menyampaikan permohonan maafnya pada warga pesantren terutama padaku.
“Maafkan aku mas, ceraikanlah aku…” tuturnya dihadapanku dengan berlinang air mata.
Aku meneteskan air mata. “Baiklah, aku ceraikan kamu setelah kamu keluar dari lingkungan pesantren ini maka jatuhlah Talakku padamu…”
Polisi segera membawanya masuk kedalam mobil dan lambat laun meninggalkan kehidupan pesantren. Aku menatapnya dari jauh, kang Abdul menepuk pundakku dari belakang seraya berkata. “Yang sabar kang…”
Aku pasrah pada yang Kuasa, aku berdo’a sambil menggigit kenanganku yang pahit. Dadaku sesak aku tak bisa menangis.
Beberapa bulan kemudian lewat kabar berita aku mendengar kematian Najwa. Mayatnya ditemukan di kamar mandi tahanan dengan beberapa tikaman di tubuhnya. Bau mayat tercium. Aku juga kaget mendengarkan kematian mantan istriku itu tewas dengan mengenaskan. Betapa perkasanya maut, betapa bangganya malaikat membawanya pergi.

CERPEN : MAAF KU TERLAMBAT

Kriiing kriiing… suara jam weker pun membangun kan ku di pagi buta nan sejuk ini, aku terbangun kulihat jam terpusat pada angka 5 pagi. Aku langsung ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu lalu ku shalat di ruangan yang tak jauh dari kamar tidur ku tadi. Saat setelah ku mengakhiri shalat shubuh dengan menengok kanan dan kiri seraya berkata “Assalammu’alaikum warrah matullahi wabarakatu…”, tiba-tiba ku dengar dari kamar yang tak jauh dari tempat ku shalat suara gaduh, suara itu berasal dari kamar kakak ku ia bernama rafa, ya aku memiliki 1 kakak nama ku sendiri adalah dafi, kami tinggal di rumah bersama ummi karena abi sedang dinas ke luar negeri.
Ku heran dengan kegaduhan yang berasal dari kamar kakak ku itu, ku ingin tahu apa yang terjadi, tapi hati ku melarang, dan tiba-tiba aku teringat akan al-qur’an yang harus segera aku khatam kan shubuh ini juga, karena memang tinggal 3 juz lagi tersisa. Satelah ku melantunkan suara merduku melafalkan qur’an, ku terhanyut pada suara ku sendiri, begitu indah dengan nagham yang keluar dari pita suara ku ini. Tak lama ku terhanyut lantunan ku sendiri tiba-tiba kak rafa berlari mendekatiku seraya berkata,
“Daf, ini penting jika kau sudah menyelesaikan qur’an mu cepatlah temui kakak di mobil”. Aku pun mendengar suara kakak agak samar dan aku hanya mengangguk tanpa meliriknya sedikitpun, karena ku masih terfokus dengan qur’an di hadapan ku. Selang waktu 1 jam aku baru menghabiskan 2 juz al-qur’an ku, kini tinggal 1 juz lagi dan aku baru bisa menemui kakak di mobil, mungkin kak rafa sudah letih menungguku yang lama ini, kata ku dalam hati.
Akhirnya ku selesai mengkhatamkan al-qur’an ku dalam kurun waktu 3 hari, hari ini adalah hari terakhir. Ku bergegas bersiap dan langsung menemui kakak ku yang sedang berbincang dengan ummi di depan pagar rumah.
“oo.. jadi begitu, ya sudah hati-hati di jalan, dan tolong titipkan salam ummi kepada ibu teman mu itu. Sampaikan juga ummi turut berbela sungkawa.” Kata ummi ke pada kak rafa yang hendak memasuki mobil. Aku hanya menganga ketika mendengar pesan ummi, dan aku tambah kaget lagi ketika ku melihat kak rafa mengenakan pakaian serba hitam dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Ketika sampai di sebuah perumahan yang cukup mewah, ku melihat ada satu rumah di kejauhan yang di penuhi dengan karangan bunga, dan di penuhi dengan keramaian orang-orang, dan tak lupa juga berserakan bendera kuning di sekitar rumah tersebut. Ku hanya takut ternyata kegaduhan kakak pagi tadi memiliki sebab, pantas tak biasanya aku mendengar kegaduhan, biasanya hanya lantunan qur’an yang terdengar.
Setelah turun dari mobil kak rafa berpesan kepada ku agar aku diam ketika berada di dalam nanti. Aku hanya menjawab “ya!” dengan lantang karena cukup jengkel dengan larangan dan ocehannya sejak pagi tadi, memang dia kira aku anak berumur 7 tahun yang perlu di cegah sana-sini, aku ini berumur 16 tahun, sedangkan kakak ku hanya beda 1 tahun dengan ku.
Langkah demi langkah aku bersama kakak ku mendekati rumah putih itu, rumah yang menurut ku sudah tak asing lagi, aku merasa aku pernah ke tempat ini sebelumnya entah kapan dan dengan siapa. Semakin dekat melangkah semakin dekat dengan suara itu, ya suara yang dari tadi terdengar begitu menderu deras, suara tangisan yang tak henti-hentinya.
Kakak mulai menyusuri teman-teman SMA nya dan mencari-cari sosok yang ingin ia lihat terakhir kalinya. Namun ketika sampai di ruang tengah sosok yang kak rafa cari sudah tak ada, hanya tangisan yang tak hentinya melantun dari para pelawat.
“Jasadnya telah di kuburkan, kamu rafa benar?” seorang ibu-ibu memberi tahu kakak, ku rasa ia ibunya. “Mengapa secepat ini, iya bu nama saya rafa.” Sahut kakak seraya menjulurkan tangan kanannya. Ibu tersebut membalas dengan senyuman dan membalas juluran tangan kak rafa. “Rafa, tante punya sesuatu untuk mu, ini ibu temukan di kamar nya, di kotak ini bertuliskan nama mu, mungkin kau mau menerimanya?” kata ibu itu sembari tersenyum kecil. “Dengan senang hati saya akan menerimanya, bu. Ummi menitip salam dan mengucapkan turut berbela sungkawa atas kepergian almarhumah Nabila.” Balas kak rafa. Ya! nama itu, nama yang sejak tadi menghantui kepala ku sejak pagi. Ternyata nama gadis itu bilqist, entah ada hubungan apa kakak dengaan gadis ini sehingga ia mendapat kotak putih yang terikat pita merah itu. Aku cukup penasaran dengan isi kotak itu, tapi apa boleh buat, kotak itu tidak ditujukan kepada ku jadi bukan hak ku untuk melihat sembaarangan isi nya, kecuali ada yang mengizinkan, kecuali ada hak ku di dalam kotak itu, dan kecuali memang salah satu isi dari kotak itu adalah untukku. Tapi mana mungkin, aku saja belum pernah melihat wajahnya almarhumah Nabila ini.
Sejak kejadian itu kak rafa lebih terlihat tertutup, ia jarang keluar kamarnya, sesekali hanya untuk shalat berjamaah dan membaca al-qur’an di ruang ibadah. Selain itu ia lakukan di dalam kamarnya. Ingin sekali aku menegurnya dan masuk ke kamarnya untuk melihat ada apa di dalam sana sehingga ia betah bukan main di kamar. Aku hanya bisa mengamati dari kejauhan sesekali kak rafa keluar untuk mengambil air minum dan pada saat itu pula ku menemukan ia dalam keadaan mata sembab. Ku bertanya dalam hati, apa ia kak rafa sejauh ini hanya menangis di dalam kamarnya? Aku semakin heran dengan keadaan kak rafa. Begitu berarti kah gadis itu, sehingga kepergiannya begitu disesali.
Sudah 3 hari semenjak kepergian Bilqist, selama itu pula kak rafa masih bertahan di dalam kamarnya. Suatu malam sunyi ku lihat jam yang melingkat di tangan ku menunjukkan pukul 9 malam, saat itu pula pintu kamar kak rafa ku dapati sedang terbuka sedikit. Ku hendak menemui kak rafa namun tak ku dapati ia di dalam, yang ku lihat hanya berlembar-lembar surat putih di atas kasur. Kotak itu, ya kotak putih pemberian almarhumah nabila, yang di sampaikan oleh ibunya sendiri. Aku semakin penasaran dengan isi lembaran surat itu. Ku baca satu demi satu dan semuanya bercerita tentang ia dan kak rafa sejak setahun yang lalu…
Kini ku baca lembar kedua, namun yang ku dapati hanya kata yang bertuliskan “Ambil amplop berwarna biru muda yang berada di dasar kotak, dan berikan itu pada adik mu. Syukran rafa, kau telah membantuku menemukan cerita yang pernah ku lupakan itu.” Degg.. jantungku mulai kencang berdetak, nafasku mulai tak terarah, dari mana ia kenal diriku, apa kak rafa yang menceritakan nya pada gadis itu. Bergegas ku mencari amplop biru muda itu, sampai-sampai ku tak mendengar derap langkah yang mendekati kamar ini.
“Kau mencari ini?” kata seseorang dari ujung pintu. Aku kaget bukan main, muka ku memerah, dan aku salah tingkah sehingga ku pergi keluar kamar kak rafa dengan tergesa. Kak rafa menghentikan langkahku dan memberikan amplop biru muda itu pada ku. Jantungku semakin cepat melaju, entah seperti ada aura yang berbeda dari amplop biru muda itu. “itu tidak ada hubungannya dengan ku, aku tak mengenalinya, mengapa malah aku yang mendapat amplop tebal itu. Mungkin ia salah menulis surat, atau… atau…” aku mulai ke habisan kata. “Dafi thariq hanafi! Almarhumah Nabila tak akan ragu ketika ia menulis, untuk siapa tulisannya, dan aku mengenali betul dia. Cepat kau baca isi dari amplop biru muda ini sebelum semuanya jauh kau sesali. Maaf kakak telah melihatnya terlebih dahulu.” Seru kak rafa seraya menjatuhkan amplop itu di depan pintu kamarnya, mungkin itu satu-satunya cara kak rafa agar aku mau memungutnya dan membacanya.
Tepat pukul 11:00 aku kembali ke kasur ku untuk istirahat, aku belum memberanikan diri untuk membaca surat yang tebalnya bukan main itu. Amplop biru itu ku taruh di atas meja samping kasur tidur ku. Tak hentinya ku pandangi sampai-sampai ku terhanyut pada heningnya malam yang membuat mataku mulai layu meredup, menutup satu demi satu.
Adzan shubuh nan merdu membangun kan ku, di ufuk timur sudah terlihat cakrawala pagi dengan embun berjatuhan bagai salju lembut. Ternyata semalam langit telah menumpahkan tangisannya. Ku segera mengambil air wudhu, lalu ku menuju ruang ibadah, kudapati kak rafa sedang menungguku untuk shalat berjamaah, tak lupa juga ummi dengan senyum lembutnya. Setelah selesai kami melaksanakan kewajiban, ummi langsung pergi ke dapur untuk melaksanakan kewajibannya. Hanya tinggal aku dan kak rafa di ruangan ini.
“dafi, kau sudah membaca isi amplop itu?” kak rafa membuka percakapan. “belum kak, semalam aku mengantuk, dan aku tertidur. Aku janji setelah ini akan langsung membacanya” jawab ku agak ragu. “Sebaiknya cepat kau baca, sebelum semuanya terlambat daf.. maksudku sebelum semuanya benar-benar terlambat.” Saran kak rafa dengan langkah kecil menuju kamarnya.
Aku semakin heran dengan surat yang ku pandangi sejak tadi, perasaan ku campur aduk, aku penasaran tapi ku agak ragu. Astaghfirullah, mengapa hati ku tak seperti biasanya. Aku lalu memberanikan diri untuk membuka lembar pertama dan lalu membacanya:
“From Bilqist to dafi”
Assalammu’alaikum daf, mungkin saat kamu membaca surat ini aku telah tiada. Aku hanya ingin mengungkapkan beberapa kejanggalan yang telah aku lakukan dulu saat kita masih satu smp, entah apa perasangkamu saat itu, kini aku ingin meluruuskannya.
Kamu masih mengenaliku kan? Aku yang saat itu menganggapmu sebagai sahabatku, tapi entah apa anggapanmu terhadap ku, walaupun hanya sebutan “teman” namun aku senang.
Kamu masih ingat kan saat di mana aku menjadi anak baru di kelas 7. Hamka, mungkin sekitar 3 tahun yang lalu, aku tak kenal siapa-siapa dan ku temukan sosok teman yang baik menghampiriku tiba-tiba… dan kau tahu, sejak saat itu kehidupan ku mulai menemukan titik terang
“Assalammu’alaikum, nama ku dafi thariq, mengapa kau tidak ke kantin ya ukhti, apa kau belum mengetahui letak kantin?” “Wa’alaikum sallam ya akhi, nama ku aisyah nabila nelwan, aku tak tahu letak kantin nya ya akhi, dan ketika ku ingn bertanya pada teman wanita di sekelilingku, semua pergi dan menghiraukan ku begitu saja.” “Baiklah Nabila, aku akan mengantarkan mu ke kantin, dan kemana pun kau suka di sekolah ini. Aku akan menjadi pemandu wisata mu, eh maksudnya menjadi teman mu” kami pun tertawa bersamaan.
Kau tahu dafi, saat itu aku tak ke kantin karena ku terlalu terlena dengan lantunan al-qur’an yang kau baca kan, aku tak ingin berlarut pergi meninggalkan suara indah itu, terlebih lagi Al-qur’an lah yang kau baca, sangat jelas di telinga dan masih terekam di otakku surat Ar-Rahmaan, ayat: 18. Yang berarti: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” itu lah Kata terakhir yang ku dengar dari lantunan mu sebelum kau menyapa ku.
Maaf daf, selama aku berteman dengan mu aku lebih terlihat jutek dari sebelumnya, mungkin aku sedikit menjengkelkan bagimu. Terlebih lagi saat kau bertemu dengan sosok Vanessa… aku sangat menyesal akan kejadian itu. Bukan maksud ku ingin menjauh dari mu fi, bukan maksud ku pula ingin memutuskan tali silaturahim yang telah terikat erat. tapi ku hanya ingin menjaga jarak agar Vanessa tidak cemburu pada ku, walaupun ia tahu aku hanya teman dekat mu. Tapi aku tetap memaklumi hubungan kalian…
“Bil, kamu tau gak hari ini aku jadian loh sama vanessa”, “Hahh, kamu serius?” “iya aku serius, dan kini gadis impianku sekarang telah menjadi milikku, bahagianya.” “Daf, kamu yakin dengan keputusan mu itu? Kamu ini terpandang sebagai sosok murid yang memiliki kelebihan lebih, apa kata mereka nanti ketika tau kamu tidak mentaati agama dengan sepenuh hati. Apa kata mereka nanti ketika kamu memiliki ikatan dengan seorang wanita, ikatan yang lebih dari teman bahkan persahabatan. Ikatan yang sebenarnya telah di larang oleh agama.” “Kamu ini kenapa, bil? Aku paham konsekuensinya, aku memang sedikit ragu dengan keputusan ku menjalin hubungan dengan Vanessa. Tapi hati ku berkata lain..” “Aku sudah mencoba mengingatkan mu fi, tapi jika kamu tetap pada keputusan mu.. maaf aku tak bisa, aku tak ingin melihat teman ku tersiram dosa setiap hari di depan mata ku sendiri. Kamu bilang hati mu berkata lain? Itu bukanlah perkataan hati, tapi itu adalah nafsu syeitan. Assalammu’alaikum!”
Maaf ya fi, Nabila belum bisa menjadi teman yang baik buat dafi. tapi apa daya, Nabila tak bisa melihat dafi terus bersama nessa. Maaf ni fi surat nya kepanjangan ya? Sabar ya membacanya, sebentar lagi selesai kok suratnya. Kamu ingat saat kita terakhir ketemu, saat itu langit sedang mencurahkan tangisannya…”
“Bilqist, kamu belum di jemput? Hari semakin sore, kamu aku antar saja ke rumah mu ya, kebetulan jemputan ku sudah datang.” “Tidak usah fi, nanti ngerepotin!” “ohh tentu tidak, Bilqist kan teman ku jadi ada baiknya mengetahui rumah teman masing-maisng, betul kan? Sekalian silaturahmi bil, sudah lama rasanya aku tak bertemu ummi mu.” “kau ini masih sama seperti dulu, suka memaksa tapi masih dalam konteks kebaikan. Aku suka sikap mu yang baik hati dengan siapa pun ini. Baik lah aku ikut bersama mu.”.
Di dalam mobil, “fi bagaimana kabar princess mu itu?” “princess yang mana? Siapa?” “hahaha.. maksud ku si Vanessa..” “ooh, dia Alhamdulillah baik-baik saja. Ini dari tadi ku sms-an sama dia” “Astaghfirullah, jadi sejak dari sekolah.. dafi tahriq hanafi!!, Rasulullah SAW pernah bersabda tentang masalah cinta, mungkin kamu lebih tau tentang isinya.” Tanpa melirikku sedikit pun kau berkata “Entahlah, aku sudah lama tidak membaca sabda rasul. Tapi sepertinya pernah ku dengar.” “Kecintaan kamu terhadap sesuatu, akan membuat mu buta dan tuli (H.R Ahmad)” “Tapi, InsyaAllah aku masih dapat mendengar dan melihat kok” “Bagaimana bisa keadaan sepertimu sekarang dapat dibilang tak buta dan tuli? Wong semenjak kamu dekat dengan Vanessa malah kamu lebih dekat dengannya fi di banding dengan sabda Rasul yang sering kau baca dulu.”
Sembari mematikan handphone, kau yang berada di kursi depan menoleh ke arah ku, tentu aku tak menoleh padamu, aku tetap melihat ke kaca mobil, dan berkata, “Kamu tau fi, sosok pemuda yang aku kagumi itu, sosok yang ku ceritakan kemarin. Kini dia sudah punya kekasih, hari-hari ku mulai sepi deh tanpa sosok baik hati itu. Dan mungkin aku akan pergi dari kehidupannya.. aku akan memandanginya dari kejauhan, dan memastikan agar ia kembali menjadi sosok yang aku kagumi seperti dulu.” “aku penasaran deh, kemarin kan kamu bercerita tanpa memberi tahu namanya. Aku mau tahu dong siapa nama pemuda yang kau kagumi itu, bil?” “iiihh, itu sih rahasia.. kamu gak boleh tau daf… hahaha belum saat nya kamu tahu..” ”iiih teman ku ini ternyata pelit juga ya.. hahaha. Ehh Alhamdulillah sudah nyampe..” “Alhamdulillah, sudah sampai. Syukran katsiran dafi” “ehh tunggu, tapi saat nya itu kapan? Akan ku tunggu saat itu, jangan lupa beritahu aku ya bila. Oiya sebelum tidur jangan lupa shalat dan berwudhu kembali. Semoga mimpi indah.” “ini fi yang aku kagumi dari mu, kamu adalah teman yang baik, selalu mengingatkan ku tentang kebaikan. Dan aku harap kamu akan terus dapat mengingat kan ku terus fi.” “Assalammu’alaikum akhi” “Wa’alaikum sallam ukhti”
Sampai sekarang mungkin kamu tidak tahu siapa sosok yang aku kagumi itu. Maaf sallam yang ku jawab dari mu waktu itu adalah perkataan terakhirku, karena keesokkan nya takdir berkata lain. Aku tiba-tiba sakit bukan main, tapi aku tak pernah mengeluh akan sakit ku ini, karena aku tersadar ternyata sakit itu indah karena ia mengajarkan bagaimana caranya bersyukur merasakan nikmatnya sehat. kamu mungkin tak tahu aku punya penyakit, maaf ku tak pernah memberi tahukan mu. Ya penyakit ini yang membuat ku harus pergi operasi ke singapura. Berbulan-bulan aku di rawat, dan dokter tidak memperkenan kan ku untuk pulang ke indonsia. Setelah lumayan pulih. Lalu ku mengambil keputusan, aku memilih melanjutkan sekolah ku disana.
Aku berniat akan mengambil jalur kelas akselerasi. Sampai pada suatu hari, ketika ku menginjakkan kaki di sekolah baru ku, tak sengaja kejadian itu terulang kembali, kejadian dimana ku bertemu dengan sosok sepertimu di masa smp dulu, Dan ternyata ia adalah kakak mu sendiri rafa, kejadian ini di ulang oleh kakakmu di masa-masa sma ku. Aku baru mengetahuinya sejak menemukan foto mu di selipan buku catatannya. Dan ia menceritakan semuanya kepada ku dengan rinci.
Sampai ajal menjemput ku pun aku tak pernah bertemu mu lagi, aku tau ketika ku menulis surat ini pasti waktu ku tak lama lagi, tapi ku ingin menjawab sesuatu.. sosok yang selama ini aku kagumi itu adalah sahabatku sendiri yaitu kau, dafi…
Oiya ada satu hal lagi yang membuatku bangkit dari penyakitku hanya untuk bernafas beberapa hari. Aku menemukan puisi karangan sosok yang ku kagumi itu di singapura, puisi ini yang memberiku arti makna kehidupan, serangkaian kata yang membuat ku bertahan hingga saat ini. Aku menemukannya di Koran singapura, kau mendapat juara 1 dan mendapat medali emas dalam lomba puisi antar pelajar di singapura, aku telah membuat versi bahasa indonesianya, sebelumnya maaf ya kalau ku punya salah, maaf karena ku sudah pergi mendahuluii mu, maaf saat ku pergi aku tidak pamit dengan mu, maaf juga jika puisi mu seenaknya aku alih bahasakan… Assalammu’alaikum.
“Tersenyumlah saat kau mengingat ku, karena saat itu aku sangat merindukan sosok mu, dan menangislah saat kau merindukan ku, karena saat itu aku tak berada di sampingmu. Tetapi pejamkanlah mata indah mu itu, karena saat itu aku akan terasa ada di dekat mu, Karena aku akan selalu ada di hati mu selamannya. Tak ada yang tersisa lagi untuk ku, selain kenangan-kenangan yang indah bersama mu. Mata indah yang dengannya aku melihat keindahan persahabatan, mata indah yang dulu selalu mengisi hari-hari ku, kini semuanya terasa jauh meninggalkan ku, kehidupan terasa kosong tanpa keindahan mu. Hati, cinta, dan rindu ku adalah milikmu. Kebaikan mu tak akan pernah membebaskan ku, bagaimana mungkin aku terbang mencari orang lain, saat sayap-sayap ku telah patah karena mu sahabat, sahabat kau akan tetap tinggal bersama ku hingga akhir hayat ku, dan setelah kematian menjemput”