OPINI | 11 June 2011 | 11:48 456 1 Nihil
“Dedicated to My Big Love”
Kisah Cinta Inggit dan Soekarno
“Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita kuat dan istimewa di belakangnya”
Petikan kalimat mutiara yang tersebut di atas
bukanlah mengada-ada, bukanlah sekedar kalimat tanpa makna. Telah banyak
kisah-kisah kesuksesan, cerita-cerita kepahlawanan yang semakin
membuktikan dan memperkuat kalimat mutiara itu. Salah satunya adalah
kisah dari pasangan Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno Pemimpin Besar
Revolusi dan Ibu Inggit Ganarsih the real first lady of Indonesia.
Peran Inggit Ganarsih sangat besar dalam proses
pembentukan Soekarno hingga menjadi seorang yang sangat disegani dan
dihormati di Indonesia dan juga di mata dunia internasional. Namun
demikian, sosok Inggit Ganarsih jarang dikupas-jarang diekspos.
Seolah-olah, orang-orang dan sejarah melupakan Inggit Ganarsih. Akan
tetapi, saya yakin 100% bahwa nanti sejarah dan angkasa raya akan
menyayangi dan melantunkan bait doa-doa serta menyanyikan syair
puji-pujian kepada Inggit Ganarsih. Istri Soekarno yang paling penting
yang membentuk Soekarno menjadi pemimpin dan pejuang tangguh serta
mengantarkannya ke gerbang kejayaan.
Kisah cinta Inggit dengan Soekarno dimulai ketika
Soekarno pindah dari Surabaya ke Bandung. Soekarno hendak meneruskan
pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di Technische
Hogeschool/Sekolah Tinggi Teknik, sekarang menjadi Institut Teknologi
Bandung. Berbekal surat dari H.O.S Cokroaminoto yang ditujukan kepada
salah seorang pengurus Sarekat Islam: Haji Sanusi, pada bulan Juni 1921
Soekarno muda berangkat menggunakan kereta api ke Bandung.
Menenteng sebuah tas dan mengenakan peci hitam
Soekarno turun di Stasiun Bandung. Haji Sanusi sahabat Cokroaminoto
sudah menunggu. Dengan menggunakan delman mereka berdua menuju ke rumah
Haji Sanusi. Di pintu rumah, Soekarno disambut oleh Inggit yang lansung
mengambil hati Soekarno. Soekarno berkata dalam otobiagrafinya (Sukarno,
an autobiography as told to Cindy Adams):
“berdiri di pintu masuk dalam sinar
setengah gelap, bentuk badannya nampak jelas dikelilingi oleh cahaya
lampu dari belakang. Perawakannya kecil, sekuntum bunga mawar merah yang
cantik melekat di sanggulnya dan suatu senyum yang menyilaukan
mata..segala percikan api, yang dapat memancar dari seorang anak dua
puluh tahun dan masih hijau tak berpengalaman, menyambar-nyambar kepada
seorang perempuan dalam umur tigapuluhan yang sudah matang dan
berpengalaman”.
Inggit pun mengenang kesannya tentang pemuda Soekarno, dan menceritakan:
“Sejak bertemu dan bersalaman, pemuda itu
sudah menyenangkan. Ia gampang bergaul dan mau menerima apa yang aku
hidangkan dengan roman muka yang menggembirakan…setelah itu percakapan
pun menghidupi rumah kami. Ia benar-benar orang yang periang, jauh
periang dibandingkan dengan suamiku”.
Inikah yang dinamakan dengan ‘cinta pada pandangan pertama’? jika ya, ini sunggulah merupakan suatu kisah cinta yang romantis. Is this ‘love at the first sight’? if yes, this is absolutely a very romantic love story.
Pada awal kedatangan Soekarno, Haji Sanusi
menghabiskan waktunya di sore hari bercakap-cakap dengan penghuni baru
dirumahnya. Akan tetapi lama-kelamaan Sanusi jarang ada di rumah.
Akhirnya Soekarno mengetahui bahwa Sanusi kembali kebiasaannya yaitu
main biliar. Hampir setiap malam ia pulang ketika waktu sudah hampir
pagi. Soekarno melihat ketidak-harmonisan hubungan suami-istri antara
Sanusi dengan Inggit.
Ketika Sanusi sedang bermain biliar, di rumah hanya
ada Soekarno dan Inggit yang masih terjaga melalui malam-malam yang
sepi. Inggit tidak jemu menemani Soekarno yang sedang mengerjakan tugas
kuliahnya. Inggit membuatkan kopi untuk mengusir rasa kantuk agar
Soekarno dapat menyelesaikan tugasnya sebelum tidur.
Soekarna mengenang hal itu: “Inggit dan aku
berada bersama-sama setiap malam. Aku adalah orang yang selalu bangun
dan membaca. Inggit pun lambat pergi tidur, karena harus menyiapkan
makan untuk hari berikutnya. Dia selalu ada di sekelilingku. Dia adalah
nyonya rumah. Aku orang bayar-makan. Kami berteduh di bawah atap yang
sama. Aku melihatnya di pagi hari sebelum ia menggelung rambutnya. Dia
melihatku dalam pakaian piyama. Aku senantiasa makan bersama dia.”
Oh, alangkah “Indah” nya, berawal dari cinta
pandangan pertama, kemudian rasa cinta, benih cinta itu semakin menguat
seiring berjalannya waktu. It came naturaly…”Beri sedikit waktu
karena cinta datang karena telah terbiasa”… Awal mendengar lagu Dewa
itu, saya kurang percaya. Tetapi seiring berjalannya waktu dan setelah
menuliskan kisah cinta Inggit dan Soekarno, tentunya membawa perubahan
dalam pemahaman saya tentang “cinta yang datang karena telah terbiasa”.
Pada masa mudanya Soekarno, jikalau harus memilih
antara wanita yang memiliki tangan yang cantik dan wanita yang memiliki
hati yang lembut, maka Soekarno memilih wanita yang memiliki hati yang
lembut. Itulah yang diakui oleh Soekarno dalam otobiografinya.
“Soekarno tidak lebih mengutamakan hubungan
lelaki-perempuan, akan tetapi ia memerlukan hati yang lembut dan
dorongan yang besar dan mulia yang hanya dapat diberikan oleh hati
seorang wanita”. Itu semua ada di dalam hati Inggit Ganarsih.
Soekarno mengakui: “Dia (Inggit) memberiku
kecintaan, kehangatan, tidak mementingkan diri sendiri. Ia memberikan
segala apa yang kuperlukan yang tidak dapat kuperoleh semenjak aku
meninggalkan rumah ibu”.
Pada suatu malam, setelah mereka bersama-sama selama
setahun, hanya ada Inggit dan Soekarno. Kemudian tiba waktunya bagi
Inggit dan Soekarno untuk saling mengungkapkan perasaan yang ada di
dalam hati mereka. Tentang cinta yang selama ini terpendam, tentang
cinta yang belum terungkap. Sudah lama Inggit dan Soekarno terdiam
tentang cinta mereka berdua, tenggelam dalam gelisah yang tidak tereda.
Saya jadi teringat sebuah lagu: “Duhai cintaku, sayangku, lepaskanlah
perasaanmu, rindumu, seluruh cintamu. Dan kini hanya ada aku dan dirimu,
sesaat di keabadian”.
Soekarno bicara dengan perlahan: “Aku mencintaimu”
Inggit segera membalas dengan cepat: “Aku pun begitu”
Kemudian Soekarno berbisik: “Aku ingin mengawinimu”
Inggit membalas berbisik: “Aku pun ingin menjadi istrimu”
Dan Soekarno bertanya: “Apakah menurut pendapatmu kita akan mendapat kesulitan?”
Inggit menjawab: “Tidak, Aku akan bicara dengan Sanusi besok”.
.........(bersambung).....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar