Nama lengkapnya Ernest Eugene Douwes Dekker atau Danudirdja Setia Budi.
Lahir di Pasuruan, 8 Oktober 1879. Pendidikan HBS, Universitas Zurich
Swiss.
Ia adalah seorang Indo yang dijuluki Penjahat Internasional karena sikapnya yang terang-terangan menentang agresi bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa Asia dan Afrika.
Di masa perjuangan, ia dikenal sebagai orang yang pertama kali
mencanangkan semboyan 'Indie Los Van Holland' (Indonesia lepas dari
Negri Belanda).
Dalam membantu menghindari kaum lemah dari penindasan golongan penguasa
dengan cara terjun ke dunia jurnalistik dan menggunakan media untuk
menyebarkan gagasan-gagasannya.
Awalnya ia menjadi wartawan bebas sampai menerbitkan majalah sendiri.
Tahun 1910 di Bandung ia menerbitkan majalah "Het Tajdeschrift" yang
menjelaskan cita-cita politiknya yang mendapat sambutan cukup luas.
Tanggal 1 Maret 1912 ia menerbitkan "De Express" yang terkenal bernada
tajam dan tidak jemu-jemu menyerang dan menentang politik penjajahan
Belanda.
Harian itu menjadi sarana bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk
mengemukakan buah pikiran mereka mengenai perjuangan membebaskan bangsa
dan penjajahan.
Dalam perjuangannya, tahun 1972 ia mengontak Dr.Tjipto Mangunkusumo dan
Suwardi Suryaningrat. Tanggal 25 Desember 1925 mereka mendirikan
"Indische Partij" yang tujuannya mempersatukan bangsa dan mencapai
kemerdekaan.
Tahun 1913, Pemerintah Hindia Belanda bermaksud mengadakan peringatan
"100 Tahun bebasnya Negeri Belanda dari penjajahan Perancis". Peringatan
tersebut akan diadakan secara besar-besaran dalam bulan Nopember 1913
dibentuklah komite yang bernama "Komite Bumi Putra" oleh Tjipto
Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, Abdul Muis dan Wignyadisastra.
Komite mendesak agar Pemerintah secepatnya mengadakan perubahan dalam
hubungan kolonial membentuk Parlemen dan meningkatkan usaha mencerdaskan
rakayat. Suwardi Suryaningrat menulis brosur berjudul "Als Ik een
Nederlanderwas" (seandainya aku seorang Belanda). Dr. Tjipto menulis
dalam "De Express" artikel "Kracht of Vress"(kekuatan dan ketakutan).
Pemerintah Belanda gempar, Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat,
Abdul Muis dan Wigyadisastra ditangkap dan dipenjarakan.
Setia Budi yang baru pulang dari Negri Belanda menulis karangan yang
menyanjung Tjipto, Suwardi sebagai Pahlawan kita Tulisan itu menjadi
alasan Pemerintah menangkap dan menahannya.
Abdul Muis dan Wignyadisastra dibebaskan namun Suwardi, Tjipto dan
Setiabudi dijatuhi hukuman buang di alam negri dan berdasarkan
permintaan mereka diubah dibuang ke negri Belanda. Selama berada di luar
negri Setiabudi berhasil mendapatkan akte Guru Eropa.
Ketika Agresi Belanda akhir 1948 ia ditangkap di Kaliurang, kemudian
dipenjara di Wirogunan-Yogyakarta dan tanggal 2 Desember 1948
dipindahkan ke Jakarta. Setelah pengakuan kedaulatan RI, ia bersama
tokoh-tokoh RI dibebaskan. Selama + 40 tahun ia berjuang untuk
kemerdekaan tanah air Indonesia, mengalami siksaan, hinaan yang luar
biasa termasuk hidupnya selama 17 tahun dipenjara.
Tanggal 28 Agustus 1950 ia meninggal dunia dan Pemerintah RI menganugerahinya Gelar Pahlawan Kemerdekaan Kemerdekaan Nasional.
Jika Setia Budi dan kaum intelektual kala itu mampu menyumbangkan
keintelektualannya untuk negri ini, bagaimana dengan keintelektualan
kita sekarang. Rasa intelektualnya sih masih melekat, namun apa yang
sudah kita perbuat ? Bila sudah begini, apakah masih layak disebut kaum
intelektual? Jawabannya, ada pada diri kita sendiri tentunya !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar