Senin, 05 Agustus 2013

Resensi Novel : Rinai - Sinta Yudisia

Mengambil latar tempat di Gaza adalah salah satu yang membuat saya tertarik untuk membaca buku Rinai. Ditambah, ketika mengetahui bahwa kisah Rinai terinspirasi dari perjalanan penulis ketika berada di Khan Younis, Jabaliya, Deir Al Balah, Gaza City, maka keputusan untuk mengikuti event pre-order yang diadakan Penerbit Indiva di facebook-pun dilakoni. Sempat salah sangka, saat membaca blog penulis tentang gaya penceritaan epistori, bayangan awal saya adalah cerita akan berlangsung dengan model surat-menyurat seperti Life on the Refrigerator Door-Alice Kuipers tapi dalam bentuk surat bukan pesan di pintu lemari es. Jadi, saya mengira imajinasi pembaca dibangun dari aktivitas surat menyurat yang dilakukan sepanjang cerita. Ternyata epistori baru terasa ketika menjelang akhir antara Rinai dengan tokoh anonim, Aku. Meski begitu, saya menikmati membaca perjalanan Rinai Hujan yang dibalut dengan konflik psikologis dalam dirinya.
Sinta Yudisia
Menjadi anak perempuan di keluarga penganut adat Jawa yang kental ternyata menciptakan beragam tanya akan pengorbanan yang terlihat tidak adil, salah satunya ‘pemujaan buta’ terhadap laki-laki dalam keluarga. Jiwa berontak Rinai semakin kencang seiring dengan bertambahnya usia, bersamaan dengan tingkah Guntur, sang kakak, yang tidak tertolerir, ditambah lagi dengan Pak de Harun yang tidak kenal malu, terus meminta bantuan uang dari saudari-saudarinya, salah satu Bunda Rafika, ibu Rinai. Tapi, seluruh keluarga seperti berusaha ‘menutup mata’ dan memaklumi.
Keputusan mengambil kuliah di Surabaya, ternyata tak membuat Rinai menjadi tenang, pertanyaan pun masih menggelayutinya, apakah keputusannya adalah bentuk pemberontakan atau upaya melarikan diri dari keluarga yang menurut Rinai selalu menciptakan beban pikiran. Sosok Nora Efendi membuat Rinai kagum dengan dosennya yang tampak sebagai perempuan tangguh yang berani mengambil tindakan dan cerdas, kemudian muncul sifat membandingkan ketika bayangan Bunda Rafika hadir dengan sifatnya yang pengalah dan kerap memendam segala keluh. Dua sosok perempuan kuat dengan caranya masing-masing.
Tak berhenti di situ, mimpi Rinai yang kerap hadir di setiap malamnya dalam wujud Ular pun menambah ‘perang’ dalam kepalanya. Mimpi tentang ular seringkali dianggap sebagai pertanda munculnya jodoh, tapi kehadiran mimpi ini mencemaskan. Rinai mulai mempertanyakan orientasi seksualnya, menambah permasalahan yang berkemelut dalam batinnya.
Setengah buku pertama, rasanya cerita berjalan lama bagi saya. Bukan dalam taraf membosankan tapi ada rasa tidak sabar dengan ada apa saja dan apa yang bakal terjadi di Gaza. Selain, menuturkan tentang latar keluarga dan pergolakan pikiran Rinai, penulis juga memberikan wacana tentang psikologis lewat diskusi yang terjadi dalam ruang kelas atau obrolan sesama teman kuliah, santai dan mengalir, mungkin karena latar belakang pendidikan penulis yang juga psikologi.
Sepanjang perjalanan menuju Gaza, penulis menggambarkan tentang proses ketika berurusan dengan petugas; suasana Timur Tengah yang jauh berbeda dengan Indonesia; makanan khas Timur Tengah yang malah membuat rindu nasi dan sambal pedas kampung halaman; dan berbagai tempat-tempat yang dilewati sepanjang perjalanan menuju Gaza, di sanalah penulis menyajikan unsur traveling dalam cerita.
Misi kemanusiaan ke Gaza memuat konflik. Tak disangka, human relief for human welfare [HRHW] yang dibawahi Nora Efendi tak seidealis yang dibayangkan Rinai. Persepsi tentang orang dan anak-anak Gaza yang ‘diciptakan’ untuk sekadar menarik simpati agar kucuran dana dari donatur semakin meningkat, menyalahi nurani Rinai. Perasaan bersalah dan terkejut membuatnya mengambil tindakan “melawan”. Membaca bagian ini, memberikan saya gambaran tentang organisasi yang bergerak di dunia kemanusiaan, tanpa bermaksud menggeneralisir, ketika idealisme ‘kalah’ dengan realitas. Meski ada dua pandangan yang berseberangan, penulis tidak memihak, latar belakang dan alasan masing-masing disampaikan seperti ketika Nora berdebat dengan Taufik.
Tidak banyak buku yang mengangkat Gaza sebagai tema atau latar tempat, padahal butuh buku-buku seperti ini untuk terus mengingatkan pada manusia, terkhusus umat muslim, bahwa ada saudara kita yang sedang berjuang mati-matian untuk mempertahankan apa yang menjadi haknya. Tidak hanya bergaung pada waktu-waktu tertentu, tapi selama penindasan terus terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar