- Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak
mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga
memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno
dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
- “Ya, bagaimana keadaanmu, No ?”
-
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu.
Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya.
Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
-
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik
bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan
ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met jou…?”
Bagaimana keadaanmu?
- Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.
-
Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis
di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan.
Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol.
Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
- Kedua teman lama
yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut
berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat
dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa
kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang
hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
-
“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu
mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus
kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.
- Jauh di lubuk
hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa
bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno
tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya
yang demikian erat dan tulus.
- Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.
- Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka. Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.
-
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah
buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka
kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil.
Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan
puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit.
Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
- Minggu pagi,
21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter
kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua
orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya
ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu
waktunya tidak akan lama lagi.
- Dengan sangat hati-hati dan
penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan
yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan
dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan
yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu
juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak
pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi.
Kini untuk selamanya.
- Situasi di sekitar ruangan sangat sepi.
Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau
tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam.
Sekaligus menyedihkan.
- Dunia melepas salah seorang pembuat
sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak
pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang
manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam
waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.
- Dokter Mardjono
segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak
lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah
meninggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar