Abu Nawas orang Persia yang dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz
meninggal pada tahun 819 M di Baghdad. Setelah dewasa ia mengembara ke
Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali
dengan orang-orang Badui Padang Pasir.
Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan
kegemaran orang Arab. la juga pandai bersyair, berpantun dan menyanyi.
Ia sempat pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama
ayahnya, keduanya menghambakan diri kepada Sultan Harun AI Rasyid Raja Baghdad.
Mari kita mulai kisah penggeli hati ini.
***********
Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana.
Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan
akhirnya meningga! dunia. Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah
Sultan (Raja) untuk mengubur jenazah bapaknya itu sebagaimana adat
Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan
Kadi Maulana baik mengenai tatacara memandikan jenazah hingga
mengkafani, menyalati dan mendo’akannya .
Maka Sultan bermaksud
mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan
bapaknya.
Namun…demi mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas
yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila. Usai upacara
pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang
dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang
itu sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang
yang melihat menjadi terheran-heran dibuatnya. Pada hari yang lain ia
mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke
makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak
bermain rebana dan bersuka cita. Kini semua orang semakin heran atas
kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila
karena ditinggal mati oleh bapaknya.
Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun AI Rasyid datang menemui Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana.” kata Wazir utusan Sultan.
“Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya.”jawab Abu Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.
“Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu.”
“Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan
mandikan di sungai supaya bersih dan segar.” kata Abu Nawas sambil
menyodorkan sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan. Si wazir
hanya geleng-ge!eng kepala melihat kelakuan Abu Nawas.
“Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan?” kata wazir.
“Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau.” kata Abu Nawas.
“Apa maksudnya Abu Nawas?” tanya wazir dengan rasa penasaran.
“Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu.” segera Abu
Nawas sembari menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan
teman-temannya. . Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu
Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu
kepada Sultan Harun AI Rasyid. Dengan geram Sultan berkata,”Kalian bodoh
semua, hanya menhadapkan Abu Nawas kemari saja tak becus! Ayo pergi
sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka rela ataupun
terpaksa.”.
Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa
Abu Nawas di hadirkan di hariapan raja. Namun lagi-lagi di depan raja
Abu Nawas berlagak pilot bahkan tingkahnya ugal-ugalan tak selayaknya
berada di hariapan seorang raja.
“Abu Nawas bersikaplah sopan”tegur Baginda.
“Ya Baginda, tahukah Anda……?”
“Apa Abu Nawas…?”
“Baginda…terasi itu asalnya dari udang !”
“Kurang ajar kau menghinaku Nawas !”
“Tidak Baginda Siapa bilang udang berasal dari terasi?” Baginda
merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para
pengawalnya.
“Hajar dia! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali.” Wah-wah! Abu
Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara
yang bertubuh kekar. Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana.
Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.
“Hai Abu Nawasl Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota in! kita telah mengadakan perjanjian.
Masak kau lupa pada janjimu itu?Jika engkau diberi hadiah oleh
Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu
bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?”
“Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan kepada tadi?”
“lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?”
“Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagianl”
“Wah ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau
kan sudah sering menerima hadiah dari Baginda.” Tanpa banyak cakap lagi
Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu
dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu
menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.
Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya
begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya.
Sementara itu si
penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun AI Rasyid.
“Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari
mengadukan Abu Nawas yang telah memukul hamba sebanyak dua puluh lima
kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda.”
Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah
Abu Nawas berada di hariapan Baginda ia ditanya.”Hai Abu Nawasl
Benarkah kau telah memukuli penunggu pintu gerbang kota in! sebanyak dua
puluh lima kali pukulan?”
Berkata Abu Nawas,”Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu.”
“Apa maksudrnu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang itu?” tanya Baginda.
“Tuanku,”kata Abu Nawas.”Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah
mengadakan perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka
hadiah tersebut akan dibagi dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk
saya.; Nah pagi tadi hamba menerima hadiah dua puluh lima kali pukulan,
maka saya berikan pula hadiah dua puluh lima kali pukulan kepadanya.”
“Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjian seperti itu dengan Abu Nawas?” tanya Baginda.
“Benar Tuanku,”jawab penunggu pintu gerbang.”Tapi ……hamba tiada mengira jika Baginda memberikan hadiah pukulan.”
“Hahahahaha……. !Dasar tukang peras, sekarang kena batunya kau!”sahut Baginda.
“Abu Nawas tiada bersalah, bahkan sekarang aku tahu bahwa penjaga
pintu gerbang kota Baghdad adalah orang yang suka narget, suka memeras
orang! Kalau kau tidak merubah kelakuan burukmu itu sungguh aku akan
memecat dan menghukum kamu!”
“Ampun Tuanku,”sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar. Abu Nawas
berkata,”Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba
diwajibkan hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba
mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu istirahat hamba sudah hilang karena
panggilan Tuanku. Padahal besok hamba harus mencari nafkah untuk
keluarga hamba.” Sejenak Baginda melengak, terkejut atas protes Abu
Nawas, namun tiba-tba ia tertawa terbahak-bahak,”Hahahaha…jangan kuatir
Abu Nawas.”
Baginda kemudian memerintahkan bendahara kerajaan memberikan
sekantong uang perak kepada Abu Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati
gembira. Tetapi sesampai di rumahnya Abu Nawas masih bersikap aneh dan
bahkan semakin nyentrik seperti orang gila sungguhan. Pada suatu hari
Raja Harun AI Rasyid mengadakan rapat dengan para menterinya. “Apa
pendapat kalian mengenai Abu Nawas yang hendak ku angkat sebagai kadi?”‘
Wazir atau perdana meneteri berkata,”Melihat keadaan Abu Nawas yang
semakin parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja
menjadi kadi.”
Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama.
“Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi
kadi.”
“Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena
bapaknya baru saja mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita
mencari kadi yang lain saja.” Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih
dianggap gila, maka Sultan Harun AI Rasyid mengangkat orang lain menjadi
krdi atau penghulu kerajaan Baghdad. Konon dalam suatu pertemuan besar
ada seseorang bemama Polan yang sejak lama berambisi menjadi Kadi. la
mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia
diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi
kepada Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.
Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan.
“Alhamdu!i!lah…….. aku te!ah terlepas dari balak yang
mengerikan.Tapi…. sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi,
kenapa tidak yang lain saja.”
Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila?
Ceritanya begini: Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan
hendak meninggal dunia ia panggil Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas
pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai. Berkata
bapaknya,”Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga
kanan dan telinga kiriku.” Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir
bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya, ternyata berbau harum,
sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk. “Bagamaina anakku?
Sudah kau cium?” “Benar Bapak!” “Ceritakankan dengan sejujurnya, baunya
kedua telingaku ini.” “Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak
yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi… yang sebelah kiri kok
baunya amat busuk?”
“Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?”
“Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini.”
Berkata Syeikh Maulana.”Pada suatu hari datang dua orang mengadukan
masalahnya kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang
seorang lagI karena aku tak suka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah
resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jia kelak kau suka menjadi Kadi maka kau
akan mengalami hal yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi
maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi
oleh Sultan Harun AI Rasyid. TapI tak bisa tidak Sultan Harun AI Rasyid
pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi.”
Nah, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk
menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau
penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu
perkara.
Walaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak
konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap
kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan
Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar