“Hai Abu Nawas,” seru Khalifah Harun Al-Rasyid. “Sekarang juga kamu
harus dapat mempersembahkan kepadaku seekor harimau berjenggot, jika
gagal, aku bunuh kau.”
Kata-kata itu merupakan perintah Sultan yang diucapkan dengan penuh
tegas dan kegeraman. Dari bentuk mulutnya ketika mengucapkan kalimat itu
jelas betapa Sultan menaruh dendam kesumat kepada Abu Nawas yang telah
berkali-kali mempermainkan dirinya dengan cara-cara yang sangat kurang
ajar. Perintah itu merupakan cara Baginda untuk dapat membunuh Abu
Nawas.
“Ya tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “semua perintah paduka akan
hamba laksanakan, namun untuk yang satu ini hamba mohon waktu delapan
hari.”
“Baik,” kata Baginda.
Alkisah, pulanglah Abu Nawas ke rumah. Agaknya ia sudah menangkap
gelagat bahwa Raja sangat marah kepadanya, dicarinya akal supaya dapat
mencelakakan diriku, agar terbalas dendamnya,” pikir Abu Nawas. “jadi
aku juga harus berhati-hati.”
Sesampainya di rumah dipanggilnya emapt orang tukang kayu dan
disuruhnya membuat kandang macan. Hanya dalam waktu tiga hari kandang
itu pun siap sudah. Kepada istrinya ia berpesan agar menjamu orang yang
berjenggot yang datang kerumah. “Apabila adinda dengar kakanda mengetuk
pintu kelak, suruh dia masuk kedalam kandang itu,” kata Abu Nawas sambil
menunjuk kandang tersebut. Ia kemudian bergegas pergi ke Musalla dengan
membawa sajadah.
“Baik,” kata istrinya.
“Hai Abu Nawas, tumben Lu shalat di sini?” bertanya Imam dan penghulu mushalla itu.
Sebenarnya saya mau menceritakan hal ini kepada orang lain, tapi
kalau tidak kepada tuan penghulu kepada siapa lagi saya mengadu,” jawab
Abu Nawas. “Tadi malam saya ribut dengan istri saya, itu sebabnya saya
tidak mau pulang ke rumah.”
“Pucuk dicinta, ulam tiba,” pikir penghulu itu. “Kubiarkan Abu Nawas
tidur disini dan aku pergi kerumah Abu Nawas menemui istrinya, sudah
lama aku menaruh hati kepada perempuan cantik itu.”
“Hai Abu Nawas,” kata si penghulu, “Bolehkah aku menyelesaikan perselisihan dengan istrimu itu?”
“Silakan,” jawab Abu Nawas. “Hamba sangat berterima kasih atas kebaikan hati tuan.”
Maka pergilah penghulu ke rumah Abu Nawas dengan hati
berbungan-bunga, dan dengan wajah berseri-seri diketuknya pintu rumah
Abu Nawas. Begitu pintu terbuka ia langsung mengamit istri Abu Nawas dan
diajak duduk bersanding.
“Hai Adinda…” katanya. “Apa gunanya punya suami jahat dan melarat,
lagi pula Abu Nawas hidupnya tak karuan, lebih baik kamu jadi istriku,
kamu dapat hidup senang dan tidak kekurangan suatu apa.”
“Baiklah kalau keinginan tuan demikian,” jawab istri Abu awas.
Tak berapa lama kemudian terdengar pintu diketuk orng, ketukan itu
membuat penghulu belingsatan, “kemana aku harus bersembunyi ia bertanya
kepada nyonya rumah.
“Tuan penghulu….” Jawab istri Abu Nawas, “Silahkan bersembunyi di
dalam kandang itu,” ia lalu menunjuk kandang yang terletak di dalam
kamar Abu Nawas.
Tanpa pikir panjang lagi penghulu itu masuk ke dalam kandang itu dan
menutupnya dari dalam, sedangkan istri Abu Nawas segera membuka pintu,
sambil menengok ke kiri-kanan, Abu Nawas masuk ke dalam rumah.
“Hai Adinda, apa yang ada di dalam kandang itu.?” Tanya Abu Nawas.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Istrinya. “Apa putih-putih itu?” tanya Abu
Nawas, lalu dilihatnya penghulu itu gemetar karena malu dan ketakutan.
Setelah delapan hari Abu Nawas memanggil delapan kuli untuk memikul
kandang itu ke Istana. Di Bagdad orang gempar ingin melihat Harimau
berjenggot. Seumur hidup, jangankan melihat, mendengar harimau
berjenggot pun belum pernah. Kini Abu Nawas malah dapat seekor. Mereka
terheran-heran akan kehebatan Abu Nawas. Tetapi begitu dilihat penghulu
di dalam kandang, mereka tidak bisa bilang apa-apa selain mengiringi
kandang itu sampai ke Istana hingga menjadi arak-arakan yang panjang. Si
penghulu malu bukan main, arang di muka kemana hendak disembunyikan.
Tidak lama kemudia sampailah iring-iringan itu ke dalam Istana.
“Hai Abu Nawas, apa kabar?” tanya Baginda Sultan, “Apa kamu sudah berhasil mendapatkan harimau berjenggot?”
“Dengan berkat dan doa tuanku, Alhamdulillah hamba berhasil,” jawab Abu Nawas.
Maka dibawalah kandang itu ke hadapan Baginda, ketika Baginda hendak
melihat harimau tersebut, si penghulu memalingkan mukanya ke arah lain
dengan muka merah padam karena malu, akan tetapi kemanapun ia menoleh,
kesitu pula Baginda memelototkan matanya. Tiba-tiba Baginda
menggeleng-gelengkan kepala dengan takjub, sebab menurut penglihatan
beliau yang ada di dalam kandang itu adalah penghulu Musalla. Abu Nawas
buru-buru menimpali, “Ya tuanku, itulah Harimau berjenggot.”
Tapi baginda tidak cepat tanggap, beliau termenung sesaat, kenapa
penghulu dikatakan harimau berjenggot, tiba-tiba baginda bergoyang
kekiri dan ke kanan seperti orang berdoa. “Hm, hm, hm oh penghulu…”
“Ya Tuanku Syah Alam,” kata Abu Nawas, “Perlukah hamba memberitahukan
kenapa hamba dapat menangkap harimau berjenggot ini di rumah hamba
sendiri ?”
“Ya, ya,” ujar Baginda sambil menoleh ke kandang itu dengan mata berapi-api. “ya aku maklum sudah.”
Bukan main murka baginda kepada penghulu itu, sebab ia yang
semestinya menegakkan hukum, ia pula yang melanggarnya, ia telah
berkhianat. Baginda segera memerintahkan punggawa mengeluarkan penghulu
dari kandang dan diarak keliling pasar setelah sebelumnya di cukur segi
empat, agar diketahui oleh seluruh rakyat betapa aibnya orang yang
berkhianat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar