Selasa, 22 Oktober 2013

CINTA DALAM KALIMAT (1.2)

Aku jadi bingung. Aku takut karena pilihanku, Oci jadi sedih. Atau marah. Atau kecewa.
Tapi akhirnya aku memilih Winda.
Dan masalah Oci tidak hanya sampai situ saja. Ternyata Kak Finka, memakai handphone Oci tanpa sepengetahuan Oci untuk ‘menembak’ Sella.

Dan masalah pun tambah ruwet. Oci jadi semakin sering bersamaku untuk curhat tentang masalah ini.
Tetapi ternyata Sella curhat ke kakak-kakak kelas tentang Oci. Oci yang terlalu cuek, dan lain-lain. Dan kakak-kakak kelas itu, yang sering melihatku jalan bersama Oci, langsung menganggapku sebagai perebut Oci dari Sella.
Padahal sama sekali tidak.

Kubiarkan saja. Yang penting Oci bisa menyelesaikan masalahnya dengan bantuanku. Biar aku yang tersakiti, asalkan Oci bahagia. Oci sahabatku, dan aku tidak akan membiarkannya sedih.
Lalu Oci meminta nasihatku. Dia ingin putus dengan Sella walaupun bukan dia yang ‘menembak’ Sella. Dia ingin putus karena dia memang tidak suka pada Sella, dan Winda mulai sadar akan cintanya.

Baguslah. Kubantu sebisa mungkin agar Oci bisa putus dengan Sella dan jalan dengan Winda.
Tapi entah kenapa, atas pertimbangan dari Kak Tanti, Oci tidak memilih Sella ataupun Winda. Dia tidak memilih keduanya dan memilih untuk menyelesaikan pendidikannya dulu.
Kudukung dia.
Terus seperti itu.

Saking dekatnya aku dengan Oci, Puput, sahabat Lia, melaporkan pada Lia kalau aku dekat dengan Oci dan digosipkan berpacaran.
Jadi, pas reuni SMP dan Lia pulang ke sini, aku tidak mendapat undangan yang dibuat oleh Lia dan Puput sama sekali.
Aku sedih dimusuhi oleh sahabat-sahabat lamaku karena kesalahan yang bukan salahku.
Tapi aku tetap bertahan.

Seterusnya begitu, penuh dengan penderitaan. Aku sempat putus asa dan meminta agar Oci menjauh dariku. Tapi itu sangat sulit. Aku sudah telanjur dekat dengan Oci.
Awalnya biasa saja.
Tapi aku baru merasa ada yang aneh sejak…
Waktu itu Wika datang padaku dan bertanya apakah aku berpacaran dengan Oci atau tidak. Waktu itu aku sedang bersama Putri dan Lisa. Aku bilang tidak, tapi Wika malah berkata…

“Kata Oci iya.”
Hah? Oci mengaku kalau aku pacaran dengannya?
Putri dan Lisa langsung berkata, “Amin.”
Rasanya mau kujitak satu-satu saja mereka berdua.
Lalu hari-hari berlanjut seperti biasa. Sampai hari Jumat. Waktu itu, aku sedang bersama Oci, dan Wika bertanya hal itu lagi padaku. Di depan Oci.

Waktu Wika bercerita, Oci mengisyaratkan agar Wika diam.
Aku merasa curiga. Ada apa kah sebenarnya? Apa jangan-jangan Oci benar-benar bercerita pada Wika kalau aku pacaran… dengannya?
Tapi aku berusaha positive thinking. Waktu itu, aku merasa aneh, tapi aku tidak enak meninggalkan Oci. Jadi aku tetap duduk di sebelahnya.
Setelah Wika pergi, datanglah Kak Dion. Dia berteriak, “Ya… yang lagi pacaran!”

Aku langsung berdiri dan pergi.
Oci mengejarku.
Karena dia tahu aku sedang bad-mood, dia mengajakku bertemu Sella.
Aku langsung antusias. Aku ingin mengetahui bagaimana reaksi Oci begitu melihati Shilla. Aku segera melupakan bad-moodku.

Aku dan Oci pun turun ke blok 9, tempat kelas Sella berada. Kebetulan hari itu semua jam pelajaran setiap kelas dikosongkan oleh guru.
Tapi, baru sampai di blok 8, Oci sudah mogok jalan. Katanya dia malu.
Kupaksalah dia. Tapi dia tetap berhenti di blok 8. Tepat di samping kelasnya… Didi.
Dan aku melihat Didi. Tapi aku tidak mempedulikannya. Aku tetap memaksa Oci.

“Oc, ayo turun!”
“Enggak!”
“Ayo!”
“Enggak!”
“Ayo!”

Lalu adik kelasku mengajakku berbicara. Namanya Sasha. Terpaksalah aku berhenti sejenak untuk memaksa Oci.
Selesai berbicara dengan Sasha, aku lanjut memaksa Oci.
“Ci, ayo!”
Oci mengangguk. “Oke. Tapi gue maunya lewat jalan samping.”
Hah, untuk apa memutar? Jangan-jangan… Oci malu lewat jalan sini karena ada orang yang ia suka?
“Kenapa?” tanyaku.

“Lewat samping aja.”
Aku mengernyit. “Jangan-jangan…”
Tapi yang menyahut adalah Didi. “Jangan-jangan… jangan.”
Aku hanya tersenyum sedikit pada Didi, lalu berlanjut ke Oci. “Ayo, Ci! Jangan-jangan…”
“Jangan-jangan… jangan.”
Tapi yang menyahut tetaplah Didi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar