Senin, 14 Oktober 2013

CINTA DALAM KALIMAT (1.1)

Aku tahu dia dari temanku, Lia, waktu aku masih duduk di kelas 3 SMP.
Lia bilang, dia punya pacar anak sekolah sebelah. Namanya Oci. Anak rumahan yang gagah, berkulit terang, dan manis.
Hanya sebatas itu. Aku tidak pernah berkomentar lagi mengenai hal itu dan mulai melupakannya.
Tapi begitu masuk SMA, ternyata aku satu sekolah dengan Oci. Dan Lia pindah sekolah ke Ibukota, Jakarta.

Awal kuliat dia di Tes Penerimaan Siswa Baru, yah… mukanya lumayanlah. Persis dengan yang Lia ceritakan padaku. Hanya saja aku cuma melihatnya sekilas. Sekaligus berharap aku dan dia diterima di sekolah itu supaya aku bisa meledek Lia terus melalui SMS.
Aku diterima di SMA itu. Tapi aku tidak tahu apakah Oci diterima di SMA itu juga atau tidak.
Waktu MOS, aku sama sekali tidak melihatnya. Jadi, kupikir dia tidak diterima.

Tapi aku benar-benar terkejut! Ternyata Oci diterima! Dia masuk di hari pertama sekolah. Mungkin dia sengaja menghindar dari MOS SMA Kartika yang terkenal berat.
Aku beda kelas dengannya, jadi aku tidak bisa terlalu dekat dengannya. Tapi walaupun begitu, karena aku satu sekolah dengan Oci, aku bisa meledek Lia sepuasnya. Walaupun semakin lama aku semakin lupa untuk mengejek Lia saking sibuknya aku dengan urusan sekolah.

Di dua semester itu, aku tidak pernah berbicara dengan Oci. Walaupun diam-diam aku sering nyengir sendiri ketika melihatnya.
Dan di dua semester itu juga, aku bertemu dengan banyak lelaki. Ada Fadil, Reza, Ahmad, dan yang terakhir adalah Tian.
Sebelum naik kelas, OSIS SMA Kartika mengadakan pelatihan kepemimpinan untuk mencari generasi OSIS selanjutnya. Dan ternyata Oci ikut. Aku juga ikut.

Di pelatihan kepemimpinan itulah aku pertama kali berbicara langsung dengannya.
Cerita awalnya, aku terlambat datang ke pelatihan itu. Dan satu-satunya kursi kosong adalah di sebelahnya. Di pelatihan itu, kami berdua sama-sama bosan, dan akhirnya malah mengobrol saat guru-guru menjelaskan materi. Karena ketahuan, kami malah dihukum.
Sejak saat itu, karena pelatihan dilakukan di sekolah dan menginap selama dua hari, setiap ada materi kami pasti saling menjagakan tempat duduk di sebelah kami supaya kami bisa duduk berdua.
Dan lama-lama aku jadi akrab dengannya. Setiap berpapasan di koridor, aku menyapanya. Atau kadang-kadang dia duluan yang menyapaku.

Waktu pun semakin berputar. Tak terasa kami sudah naik kelas, bersamaan dengan aku putus dengan Tian. Tian sudah di-drop out dari sekolah saking nakalnya.
Masalah sebenarnya, aku sudah jatuh cinta pada Tian.
Kembali ke topik awal;
Aku satu kelas dengannya.

Tambah gila-lah kami berdua. Ke mana-mana pasti berdua. Tapi kami tidak berpacaran sama sekali, seperti kisah-kisah lainnya. Kami bahkan tidak saling jatuh cinta.
Aku hanya menganggapnya sahabat, dan dia juga.
Dia sering bercerita tentang perempuan yang ia suka, Regita, dan ia sering meminta nasihatku. Oh iya, dia sudah putus dengan Lia. Kalau aku, aku sering bercerita tentang Tian. Mantan terakhir yang masih sangat kucintai.
Sialnya, karena kami sering berdua, semua orang suka sekali meledek kami berdua.

“Ciee…”
“Aduh, so sweet-nya…”
“Jadi iri, deh.”
Menyebalkan. Tapi Oci, yang berkepala dingin, menasihatiku. Katanya, aku tidak boleh membawa ejekan itu sampai ke kepala. Ya, aku mengikuti nasihatnya.
Semakin lama, aku semakin suka dengan Tian walaupun Tian semakin jauh. Dan saking ‘gila’nya aku ditinggalkan oleh Tian, aku nekat mencari laki-laki lain. Namanya Didi. Dia adik kelasku.

Lama-lama aku suka juga dengan Didi. Walaupun awalnya cuma main-main.
Tapi, begitu menceritakannya pada sahabat-sahabatku seperti Oci, Azhuri, dan Rani, hanya Oci yang tidak setuju. Tidak jelas motifnya.
Karena setiap hari Oci menyatakan ‘perang’nya terhadap Didi, aku memutuskan Didi. Dan hatiku kembali lagi pada Tian.

Dan Oci juga sudah berganti hati. Dia sudah mencintai Winda, kakak kelas kami.
Tak sengaja, suatu hari, aku mendengar kalau Sella, adik kelasku, naksir pada Oci. Aku memberitahu Oci, dan lama-lama kami asyik dengan masalah itu. Kami melupakan masalah Tian dan Winda.
Dan ternyata masalah itu, entah kenapa, menjadi luas. Banyak kakak kelasku yang masuk ke dalam masalah itu. Seperti Kak Finka, yang menjadi pendukung utama Sella dalam merebut hati Oci dari Winda.

Hal itu membuat Oci bingung.
Kak Finka, Kak Tika, Kak Wahyu, dan bahkan Ibu Jena, guru kami, sudah memberitahu pilihan mereka pada Oci. Mereka semua kecuali Kak Finka memilih agar Oci tidak pindah hati pada Winda.
Tapi, dari sekian banyaknya orang yang dimintai pendapat, Oci hanya menunggu pendapatku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar