Selasa, 08 Oktober 2013

CINTA DALAM KALIMAT (2)

“Hai.”

Siapa sangka SMS itu dikirimkan oleh Tian? Yang perlahan-lahan sudah mulai kulupakan?
Begitu bangun pagi dan melihat nomor baru tertera di layar handphone-ku, kukira itu SMS tentang togel yang sedang marak saat ini. Tapi ternyata bukan.

“Yup, hai juga. Siapa ini?”
“Tebak siapa. Huruf depannya… T. Huruf terakhir N. Huruf di tengah itu I dan A. Empat huruf.”
Barusan aku mendapatkan teka-teki segampang (atau mungkin sebodoh) itu!
“Tian.” Jawabku.
“Haha… bener. Tumben otak lu lancar.”
“Otak lu tuh yang mampet.”
“Idih.”
“Ngapain SMS gue? Tumben.”
“Enggak.”

Aku mengangkat bahu. Ya sudahlah, kalau memang dia tidak punya maksud apa-apa untuk mengirimkan SMS padaku.
Setelah itu aku tidak membalas SMS-nya. Aku lanjut mandi, sarapan, dan rutinitas-rutinitas pagi lainnya dengan cepat.

Dengan cepat, karena rencananya… hari ini ada acara PENSI di sekolah!
Ya… tidak terasa sudah akhir semester. Sudah waktunya OSIS mengadakan acara PENSI.
Dan aku semangat sekali untuk datang. Walaupun hanya menjadi penggembira saja.
Tapi, begitu aku sudah mau berangkat dan memeriksa HP-ku, dua SMS dari Tian masuk di HP-ku.

“Tumben SMS? Hehe, kangen aja sama lo.”
Aku mencibir dan membuka SMS lainnya.
“Lo mau pergi ke PENSI, kan? Gue jemput. Titik. Tunggu gue jam delapan depan rumah lo.”
Aku melirik jam dinding. Sudah jam delapan lewat sepuluh!
Aku langsung berlari secepat kilat (tidak, tidak. Ini hanya perumpamaan) keluar dari rumah. Dan betul saja, seorang laki-laki dengan mobil sport biru yang dimodifikasi sudah menungguku di luar.
“Hei,” panggilnya.
Aku menghampirinya. “Ngapain jemput gue?”
“Salah ya?” tanya Tian. “Gue kangen sama lo. Cepetan dong, kita dateng ke PENSI.”
Aku mengernyit. “Ini PENSI sekolah gue. Lo kan udah keluar.”
“PENSI ini umum,” jawabnya. “Kalau gak tahu apa-apa, gak usah bicara, deh! Cepet naik!”

Yah, lumayanlah. Dapat tumpangan gratis.
Aku pun naik ke mobilnya dan Tian segera mengebut pergi ke sekolah, tempat diadakannya PENSI.
Begitu sampai, sebenarnya aku ingin mencari Oci. Tapi aku baru ingat, Oci mengisi salah satu acara. Dia menjadi pemain gitar salah satu band sekolah.
Lagipula Tian selalu mengapitku, mengikutiku ke sana ke mari seperti pengawal. Jadi aku bersama dia saja.

Acara PENSI sudah dimulai. Aku tiba di sini sekitar jam setengah sembilan bersama Tian.
Acara pembuka sudah lewat, dan sekarang sudah sampai pada acara penampilan salah satu band sekolah. Dan Oci sedang tampil saat ini. Dia memang tiba-tiba ‘dikontrak’ menjadi salah satu pemain gitar oleh Bu Ani, guru musik kami, entah kenapa.
Aku berteriak memanggilnya di tengah-tengah musik yang menderu keras, “Ociii!!”
Oci berbalik sambil meneruskan bermain gitar, lalu tersenyum padaku.

“Siapa tuh?” tanya Tian.
“Temen,” jawabku santai. Lalu aku kembali menikmati ‘pesta’.
Masalah yang pernah kuceritakan (perasaan anehku pada Oci) tidak berpengaruh apa-apa dengan kehidupanku saat ini.

Aku dan dia tetap bersahabat. Ya, sahabat dekat. Hal-hal merepotkan seperti jatuh cinta yang sangat ribet pun tidak akan bisa memisahkan kami sebagai sahabat.
Eh, aku tidak jatuh cinta padanya.
Aku sudah berjanji. Aku tidak akan jatuh cinta pada Oci.
Perasaan anehku hanya sebagai perasaan mengagumi. Bukan cinta. Ya, bukan cinta.

“Kayaknya dia pacar lo, ya?” tanya Tian lagi.
“Emang kenapa?” Aku malah balik bertanya.
Bersamaan dengan ending lagu, Tian menggenggam tanganku. Membuatku membelalak kaget.

“Gue suka sama lo,” kata Tian tiba-tiba. Sukses membuatku seperti jatuh dari lantai ke-tujuh saking kagetnya. “Maafin gue pernah ninggalin lo dulu. Itu dulu karena gue bosen. Sori banget. Lo mau kan sama gue?”

Lalu lagu berakhir. Diikuti oleh aplaus dari setiap orang yang datang ke PENSI tersebut.
Aku melepaskan genggaman tangan Tian, lalu berlari ke luar. Tian tidak sempat mencegahku.
Aku berlari ke luar sekolah, lalu bersembunyi.
Tidak, aku tidak boleh bertemu dengan Tian! Tidak jika aku tidak ingin hidupku hancur!
Tian… berapa lama aku sudah menunggunya?
Yah, walaupun aku sempat merasa aneh dengan Oci, tapi tetap saja aku masih cinta pada mantanku paling… er, ‘hancur’ ini.

Dan bisa bertemu dengannya sebenarnya adalah mimpi yang menjadi nyata.
Tapi karena aku sudah merasa aneh dengan Oci, semua yang kulalui barusan dengan Tian, terasa biasa saja.
Biasa. Ah, sungguh menyedihkan!
Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku kaget dan nyaris berteriak, tapi aku diam saja. Berbalik pun tidak. Aku takut apabila jika aku berbalik nanti, yang kutemui itu Tian.
Tian. Tian. Tian.

Entah kenapa semua yang ada di hadapanku sekarang seperti berkunang-kunang. Aku memang tidak bisa terlalu kaget.
Dan entah kenapa aku hanya memikirkan Tian?
Orang di belakangku menepuk punggungku untuk yang kedua kalinya. “Woi. Ngapain lo sembunyi?”
Oh, suara Oci. Aku langsung berbalik.

“Ci!” seruku parau. “Lo enggak bakal nyangka… serius, lo gak bakal nyangka…”
Akhirnya Oci mengajakku minum cokelat panas (salah satu obat kagetku) di salah satu kedai remaja dekat sekolah.
Dia mendengarkan ceritaku dari awal sampai akhir.
Dan begitu selesai, dia mengangguk-angguk mengerti sambil mengaduk jus alpukat pesanannya dengan sedotan. “Oh…”

“Gimana, dong?!” tanyaku panik.
“Gimana dong apanya?” tanya dia balik. “Gue gak ngerti. Lo selalu curhat tentang dia ke gue dulu. Lo cinta banget sama dia, gue bisa baca mata lo. Terus kenapa lo panik pas dia kembali sama lo?”
Mulutku terkunci.

Bagaimana cara mengatakan… kalau ada rasa yang aneh di dalam hatiku saat ini? Rasa yang… ah, manis sekaligus mendebarkan hanya untuk Oci?
Hal yang membuatku semakin lama semakin melupakan Tian? Dan semakin membuatku canggung pada Oci?
Ya, canggung. Aku sudah tidak lengket lagi dengan Oci (seperti dulu) walaupun aku masih terus bersahabat dan jalan dengannya.

“Gue juga mau bilang sesuatu,” kata Oci tiba-tiba. Membuat pandanganku, yang sudah berkunang-kunang, semakin parah. Ya, entah kenapa tiba-tiba aku merasa berdebar.
“Apa?” tanyaku dengan susah-payah. Ah, berbicara pun mulai sulit untukku.

Oci diam sejenak. Aku menahan napas sementara dia terdiam.
Lalu Oci mengatakan sesuatu setelah (di mataku) berusaha menguatkan diri. “Kita harus pisah. Gue punya masalah karena hubungan persahabatan kita. Kita gak bisa gini terus, karena gue bisa baca mata lo. Gue tahu lo tersiksa, walaupun gue gak tahu kenapa.”
Aku sudah nyaris pingsan. Untuk berkata-kata pun rasanya aku sudah tidak bisa.
Kehilangan Oci sebagai sahabat?
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada ini. Bahkan setelah aku ditinggalkan oleh Tian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar