Nah sekarang, pertanyaan yang hendak kita cari tahu jawabannya adalah: bagaimana sikap yang Islami menghadapi hari ulang tahun?
Jika hari ulang tahun dihadapi dengan melakukan perayaan, baik berupa
acara pesta, atau makan besar, atau syukuran, dan semacamnya maka kita
bagi dalam dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama,
perayaan tersebut dimaksudkan dalam rangka ibadah. Misalnya dimaksudkan
sebagai ritualisasi rasa syukur, atau misalnya dengan acara tertentu
yang di dalam ada doa-doa atau bacaan dzikir-dzikir tertentu. Atau juga
dengan ritual seperti mandi kembang 7 rupa ataupun mandi dengan air
biasa namun dengan keyakinan hal tersebut sebagai pembersih dosa-dosa
yang telah lalu. Jika demikian maka perayaan ini masuk dalam pembicaraan
masalah bid’ah. Karena syukur, doa, dzikir, istighfar (pembersihan
dosa), adalah bentuk-bentuk ibadah dan ibadah tidak boleh dibuat-buat
sendiri bentuk ritualnya karena merupakan hak paten Allah dan Rasul-Nya.
Sehingga kemungkinan pertama ini merupakan bentuk yang dilarang dalam
agama, karena Rasul kita Shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Orang yang melakukan ritual amal ibadah yang bukan berasal dari kami, maka amalnya tersebut tertolak” [HR. Bukhari-Muslim]
Perlu diketahui juga, bahwa orang yang membuat-buat ritual ibadah baru,
bukan hanya tertolak amalannya, namun ia juga mendapat dosa, karena
perbuatan tersebut dicela oleh Allah. Sebagaimana hadits,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar