Hidup tak akan berwarna tanpa orang-orang di sekeliling kita.
Termasuk sahabat. Betul, sahabat adalah seseorang yang memiliki hubungan
dekat dengan kita. Bahkan mungkin sahabat dikategorikan sebagai orang
yang paling berarti dalam hidup. Setelah Tuhan, pasangan maupun
keluarga.
Tak dapat dipungkiri, sahabatlah yang mengetahui diri kita yang
sebenarnya. Sahabatlah tempat kita membagi perasaan. Sahabatlah yang
mengisi hari-hari kita dengan ocehan cerewetnya. Sahabatlah pembangkit
semangat kita. Sahabatlah yang turut mendoakan kesuksesan kita. Dan,
sahabat selalu mendukung serta menemani kita tak peduli seburuk apapun
kondisi yang kita alami.
Intinya adalah.. Di dunia ini, sahabat merupakan sosok penting yang ikut menorehkan warna-warni riwayat hidup.
Well, persahabatan sendiri emang punya banyak arti. Dan rangkain
huruf itu dapat terjadi karena berbagai hal pula. Entah itu karena
kesamaan antar orang, maupun perbedaan yang ada. Sahabat juga tak
termakan waktu. Tak peduli angka usia. Tak menghiraukan status. Dan, tak
kenal bentangan jarak.. Jarak? Sebentar, dari pengalaman yang kudapat
dari pengamatan di sekitar, jarak bisa dibilang merupakan hambatan
utama.
Memang bisa seseorang berhubungan pada rentangan jarak yang ada?
Semisal, aku di Sabang sedangkan sohibku di Merauke. Ujung dan ujung.
Apa bisa hubungan ini terbentuk? Apa bisa bertahan lama? Apa bisa tetap
berjalan seperti persahabatan pada umumnya? Jelasnya, apa hubungan
semacam ini ada?
Ada. Ya, hubungan persahabatan seperti itu memang ada. Sahabat pena.
Sahabat yang berhubungan hanya melalui rangkaian kata yang tertulis dari
pena. Di masa kini, terelevansikan sebagai sebuah hubungan yang hanya
dirajut lewat media yang tersedia. Entah itu surat, telepon, sms, atau
mungkin internet.
Internet? Sejenak fikiranku melayang pada blog dan hal-hal yang
berkaitan dengannya. Sesuatu yang membuatku kini telah berdandan cantik
dan berpakaian rapi tuk mengunjungi café langgananku. Menghadiri janji
yang telah kusepakati bersama seorang sahabat yang kukenal melalui
bayang-bayang dunia maya.
——–
Hai. Panggil saja aku Angel. Aku adalah seorang gadis berumur 15
tahun yang anti-sosialis. Ehem, mengapa bisa begitu? Well, karena
kepingan trauma masa kecil yang telah kualami. Dan kini aku tak mau
membahasnya. Biarlah itu menjadi puing-puing kenanagan pahit bagi diriku
sendiri.
Aku pribadi pendiam yang menutup diri dari orang lain. Bisa dibilang
aku adalah bocah yang amat tertutup. Ditambah dengan fisikku yang tak
terlalu menonjol, lengkaplah sudah kriteriaku sebagai outsiders. Seorang
yang dihindari dan tak akan pernah punya teman di sekolah.
Jujur, itu
menyedihkan. Seperti yang kalian tebak, aku sangat tidak menikmatinya.
Tapi mau bagaimana lagi?
Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Tak terasa, satu jam lagi
telah berganti menjadi esok hari. Seperti biasa, di kamarku ini aku
masih berkutat dengan teman setiaku. Yaitu Notebook mini pibadiku. Sebut
saja begitu karena memang iya. Notebook itulah satu-satunya
penghubungku untuk berinteraksi dengan dunia luar. Lebih tepatnya dunia
maya.
Kini aku mengelola sebuah blog. Blog yang kuisi dengan seluruh
karya-karya sastraku. Ohya, aku pecinta sastra. Entah mengapa
mengetikkan kata demi kata pada setiap draft posting selalu membuatku
senang. Puisi, cerita bahkan kehidupan sehari-haripun tak luput
kugambarkan lewat rangkaian diksi yang kuhasilkan. Blogku telah berjalan
selama dua belas bulan. Dan hingga menginjak tahun pertama sejak ia
dilahirkan, tempat penampung karyaku itu masih sepi pengunjung. Tak ada
yang merespon bahkan tak ada satu komenpun yang ter-publish. Miris
rasanya. Namun, karena menulis telah membuatku bahagia, aku
mengikhlaskannya dan berprinsip tuk menjalaninya dengan riang tanpa
meminta apa-apa sebagai kembalinya.
Bagi diriku, situasi tenang seperti sekarang selalu membuat
inspirasiku berjalan lancar. Segera, kuketikkan seluruh ide yang masih
bernaung dalam imaji. Kali ini aku membuat puisi pendek. Singkat.
Sederhana. Hanya terdiri dari delapan baris.
“Hening. Sepi. Sunyi.
Seperti bulatan-bulatan purnama kemarin.
Tenang. Khidmat. Nikmat.
Menyusup liar dalam arteri vena.
Sendiri. Indepen. Mandiri.
Mendera tanpa henti membiasakan diri.
Kelam. Tenggelam. Mati.
Tak sadar lagi tak ada yang peduli.”
Publish!
‘Hoaam’ Aku menguap lebar. Kulemaskan tangan-tanganku yang pegal
karena terus mengetik sedari petang. Kiranya, mataku tak kuat lagi. Aku
harus tidur sekarang. Tapi sebelum membawa diriku ke alam mimpi, aku
berniat tuk matikan laptop yang masih melampirkan postingan puisi
baruku. Kugerakkan mouse ke arah tombol sign out, tapi.. Tunggu!
1 Blogger like this post
What? Ada yang me-like postinganku? Lekas kubuka post terbaruku dan
mengscroll down ke paling bawah tuk memastikan.. Sesaat, jantungku
melonjak. Hatiku benar-benar senang. Itu.. Itu.. Tidak, aku masih
terkejut. Aku tak sanggup mengatakannya. Itu sebuah rangkaian kata dari
kotak komen yang ter-publish. Sebentar, apa mataku tak salah melihat?
Mimpikah aku? Apa ini benar-benar nyata? Ya, Tuhan.. Ini.. Ini komen
pertama yang kudapatkan.
Randy H.A. says:
Nice poet
Blogwalking dek, salam kenal
——–
Siang ini, Madam’e Cafe nampak ramai. Dengan pengunjung yang keluar masuk serta pelayan
berseliweran menyajikan pesanan. Meskipun begitu, aku melihat satu meja
kosong di sudut ruangan tepat di sebelah dinding kaca. ‘Tempat sempurna
untukku’ kata batinku bicara.
Segera kulangkahkan kaki mendekat meja itu lalu memanggil pelayan tuk melayaniku.
Setelah memesan kopi favoritku, kubenamkan punggung menyender kursi
dengan sesungging senyum yang sepertinya hari ini mudah kuekspresikan
melalui bibirku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar