Rabu, 20 November 2013

CERPEN : CINTA KU MACET DISIMPANG LIMA

Aku meniti jalan ini lagi. Kali ketiga dalam satu hari ini. Aku tahu sebenarnya banyak jalan-jalan lain yang tidak pernah macet dan jelas akan sangat menghemat waktu perjalananku pulang dari kantor, tapi jalanan ini berbeda. Aku bahkan rela terkena macet 30 jam dalam sehari di jalan ini. Sangat, sangat rela. Malah aku sedang dengan sengaja terkena macet di jalan ini sekarang. Juga berputar-putar dengan sengaja. Unik sekali bukan?
Apa yang salah dengan jalan ini? Tidak ada yang salah. Hanya hatiku yang salah. Hatiku harusnya kusut pasai terkena macet panjang, dengan bis-bis pariwisata, bis dalam kota, angkutan-angkutan umum, taksi-taksi, mobil-mobil pribadi dan kendaraan bermotor yang harus berebut jalan. Merangkak perlahan-lahan. Harusnya hatiku kusut dan emosiku meluap karena ingin cepat sampai – seperti kemarin-kemarin. Tapi tidak dengan tiga hari terakhir ini. Malah aku dengan bahagia, bersiul-siul rendah sangat menikmati keadaan yang panas-pengap akibat berebut oksigen dan perjalanan yang tiga kali lipat lebih memakan waktu. Menikmati setiap detiknya.
Apa yang terjadi? Em… tidak ada. Kecuali hatiku yang macet berfungsi bersamaan dengan macetnya jalanan ini. Macet oleh perasaan aneh yang membuang semua kewajaran saat aku sedang terkena macet. Macet terhadap semua gundah, semua kesal, semua emosi. Macet karena bunga-bunga cinta dari seorang Polisi Lalu Lintas yang menanggulangi macet. Kukira jika aku tidak terkena macet, satu hari saja, bisa jadi jantungku yang macet berfungsi.
Aku tidak tahu namanya. Pokoknya polisi itu selalu berdiri di sana. Di ambang salah satu jalan Simpang Lima yang menuju Banyumanik – jalur yang paling banyak dituju untuk meninggalkan Semarang, dan mengintruksi kendaraan yang berlalu-lalang, kapan harus maju, kapan harus berhenti. Dia menggantikan fungsi lampu lalu lintas yang sementara ini sedang diperbaiki. Gadis muda sang Polantas itu tidak terlihat lelah sama sekali, senyumnya selalu merekah saat mempersilahkan pengendara maju, atau berhenti. Peluit selalu tersemat di pundaknya. Terlihat begitu anggun dan mempesona. Padahal langit sudah semakin gelap. Awan merah mulai berarak lembut di langit, disusul panggilan sholat yang bersahut-sahutan. Dalam hati aku berdo’a, terus berdo’a supaya Tuhan mengizinkan aku mengenalnya lebih dekat. Juga supaya Dia memberiku kesempatan bertatapan langsung dengannya dan menanyakan namanya. Juga mengizinkan aku menjadikannya pendamping hidupku. Memangnya aku bisa minta pada siapa lagi selain pada-Nya?
Sampai di jalur Banyumanik itu aku melirik sang Polwan, dia menghentikan laju mobilku dengan aba-aba, dan senyumannya nyaris menghentikan laju jantungku. Di dada kirinya tersemat papan nama kecil bertuliskan “Raya”. Ternyata itu namanya. Pantas saja semesta raya seolah tertawan olehnya. Ah, puitis sekali aku hari ini.
Sebenarnya aku punya beberapa kali kesempatan untuk menegur Raya. Bagaimana tidak? Aku sudah berputar tiga kali dalam sehari di Simpang Lima selama tiga hari berturut-turut. Bahkan terkadang lebih. Tapi entah kenapa, hanya melihat senyumnya saja kakiku langsung lemas, jantungku mendadak malas berdetak – hingga jadi sesak, lidahku kelu, otakku jadi lambat berfikir dan tidak mampu mengingatkan bahwa kesempatan mungkin tidak akan datang dua kali. Aku sering khawatir Raya berhenti bertugas di situ, atau khawatir lampu lalu lintasnya selesai diperbaiki. Karena jika itu terjadi, aku tidak akan lagi punya kesempatan untuk melihat Polwan-ku. Agaknya aku adalah satu-satunya pengguna jalan yang berdo’a supaya jalanan ini tetap macet. Setidaknya sampai aku bisa mengenal Raya lebih dekat. Memang do’a yang egois dan menyusahkan pengemudi lain yang melintasi jalan ini, tapi sekarang aku memang sedang ingin egois. Aku butuh jadi egois saat ini.
Sekali lagi aku berputar di Simpang Lima, kemudian kubelokkan mobilku ke masjid Baiturrahman yang megah dengan arsitektur jawa joglonya menghiasi perkotaan yang mulai ditumbuhi gedung-gedung pencakar langit, Mesjid tersebut berada di sisi jalur bundaran Simpang Lima, aku memarkirkannya di dekat menara. Selepas sholat, aku terpekur cukup lama di hadapan Tuhan. Meminta banyak hal dan terutama meminta Raya. Tuhan, hanya Engkau-lah yang bisa mengabulkan permintaanku, tolong izinkan aku mengenal sosok Raya lebih dekat, mengetahui asal-usulnya. Tuhan, jadikan Raya adalah tulang rusukku yang hilang, lalu kembalikanlah padaku secepatnya.
~ Raya ~
Harusnya aku mengundurkan diri tiga hari yang lalu. Meninggalkan jalanan macet ini dan rutinitasku di tengah-tengahnya. Ibuku sudah meminta itu sejak satu tahun yang lalu, dan aku sendiri sudah membulatkan tekad untuk melengkapi keislamanku yang baru seumur jagung dengan jilbab secepatnya. Maka saat instansiku tidak mengizinkan niatku ini, aku memutuskan untuk mengundurkan diri. Menurutku begitu lebih baik, toh aku tidak bisa terus berada di tengah jalanan seumur hidupku.
Sejatinya aku menikmati pekerjaanku. Setiap mobil yang melaju perlahan berdesakan, klakson-klakson yang beradu di langit jalanan, wajah-wajah emosi tidak sabaran, muka-muka ketus dan masam, dan kadang umpatan-umpatan sopir kendaraan. Seperti casting pertunjukan drama dimana semua orang diminta untuk memerankan tokoh antagonis. Kadang aku berfikir bahwa mereka seolah berebut menjadi yang terbaik dalam adegan klimaks sebuah sandiwara. Pasti sebelum terkena macet mereka tertawa, tersenyum, bahagia, dan sudah membayangkan wajah-wajah yang menanti mereka di tempat tujuan. Atau mungkin sudah mengilustrasi hidangan yang dipersiapkan seseorang di rumahnya sana. Maka aku berada di sini, di tengah jalanan ini, kadang tidak lagi karena tuntutan profesi, namun lebih karena panggilan hati untuk membantu orang-orang yang kesulitan melintas akibat macet itu agar segera sampai ke tempat yang menjadi tujuan mereka masing-masing.
Namun aku agak heran. Ada sesuatu yang menahan pengundur-dirianku, sesuatu itu agak berbeda. Dan membuat aku masih ingin bekerja di bawah terik matahari jalanan. Rasa penasaran pada satu sosok unik yang baru kali ini aku temui dari sekian banyak pengguna jalan yang selalu berganti-ganti sepanjang profesiku. Satu dari ribuan wajah-wajah yang masam, ketus, emosi, dan malah mengumpat, ada wajah yang tampak begitu tenang mengemudikan mobilnya, begitu santai dan menikmati kemacetan ini. Sejak tiga hari yang lalu aku merasa ada sepasang mata yang memperhatikan aku. Dan bukannya aku tidak tahu, sepasang mata milik pemuda tampan bermobil hitam dengan plat nomor H 679 AR itu terus melewati jalan ini tiga kali dalam sehari. Dengan wajah yang damai dan pandangan matanya yang tajam, seolah mengawasiku dengan lembut, hanya memandang saja dari jauh. Aku selalu berusaha mengacuhkan, tapi tatapan itu selalu terarah kemari. Kalau dipikir, gadis mana yang tidak tertawan oleh tatapan penuh makna seorang pemuda tampan seperti itu? Di antara puluhan pasang mata lain yang dalam sehari penuh menghujam, menyalahkan dan seakan meminta pertanggungjawaban atas jalanan yang selalu macet. Satu-satunya pengendara mobil yang tersenyum balik saat aku mengaba-abakan dia berhenti, atau maju.
“Raya, mau sholat dulu? Saya sudah. Saya bisa menggantikan kamu,” seorang rekanku menegur. Aku segera tersadar dari lamunan panjang. “Ah, iya. Terima kasih,” sahutku seraya tersenyum dan mempersilahkan rekanku itu menggantikan. Aku berjalan menuju masjid Baiturrahman yang letaknya paling dekat dengan posisiku saat ini.
Mobil hitam H 679 AR terparkir manis di samping menara masjid. Mungkin pemiliknya sedang menunaikan ibadah di tempat yang kutuju. Jika mengingat pemuda dengan sepasang mata teduh dan pandangan tajam itu, aku seperti menemukan sesuatu. Ada sesuatu dengan pemuda ini, yang tidak bisa aku definisikan apa, tidak mampu aku pahami kenapa. Namun setiap melihat wajahnya, aku merasa akan dekat dengannya, seperti sinyal yang mengidentifikasi bahwa akan ada ikatan dengannya. Hmf, aku tersenyum sendiri. Lucu dengan pikiran anehku. Kenal dengannya saja tidak, malah aku juga tidak tahu namanya. Tapi agaknya perasaan ini kuat sekali.
Selepas sholat, aku memohon ampun pada Tuhan, lalu meminta banyak hal dalam do’a panjangku pada-Nya. Dan hatiku tidak bisa kucegah, aku juga meminta pemuda itu pada-Nya, memangnya aku bisa minta pada siapa lagi jika bukan pada-Nya?. Ya Rabb.. Jika memang pemuda unik itu akan menjadi seseorang yang berarti di kehidupanku nantinya, maka mudahkanlah jalan kami, Ya Rabb.. perkenalkan aku padanya, dan dekatkanlah kami dengan cara-Mu.
Di depan masjid.
Tidak biasanya Adjie berlama-lama duduk di depan masjid. Meskipun dia memang sering berjama’ah maghrib di masjid Baiturrahman itu sejak terkena macet satu bulan yang lalu, dia biasanya langsung buru-buru pulang. Tidak terpikir sedikitpun untuk menyapa dan berbincang sebentar dengan sesama jama’ah. Tapi hari ini berbeda. Adjie bahkan sempat duduk lama dan mengobrol dengan seorang pemuda yang sepertinya seorang pegawai salah satu perusahaan sekitar Simpang Lima, terlihat jelas dari penampilannya.
Pemuda tersebut pamit, dan meninggalkan Adjie yang masih enggan beranjak dari tempat duduknya. Dan yang tidak pernah Adjie sangka, sang bidadari yang sudah tiga hari membuatnya rela berlama-lama dalam macet, dan menyengajakan diri terkena macet di jalur pantura itu duduk di sampingnya, tidak sampai satu meter, dan tanpa terhalang orang lain. Bidadarinya dengan wajah yang segar akibat air wudlu tampak semakin ayu terkena tampias sinar lampu. Dia sedang mengenakan sepatunya.
Adjie berhitung dengan waktu, satu, dua, tiga.. dia mulai gugup. Raya tampak tidak sadar ada seseorang yang kelimpungan di sampingnya, berdebar, senang, khawatir dan entah apalagi. Seseorang yang sedang ragu-ragu hendak menyapa. Tapi Adjie juga sadar, terlepas dari kesempatan ini, mungkin kesempatan lain tidak akan pernah datang lagi. Kapan lagi dia bisa duduk sedekat ini dengan sang pujaan hati? Kapan lagi dia bisa bertemu Raya? Siapa yang bisa menjamin kalau lampu lalu lintas akan tetap diperbaiki esok hari? Siapa yang bisa menjamin bahwa besok Raya masih bertugas di jalan yang sama? Di simpang Lima? Bagaimana jika tiba-tiba Raya pindah tugas ke kota lain? Dalam hati Adjie mulai panik. Lantas berkata pada dirinya sendiri, menyalahkan kesempatan yang datang tapi juga mensyukurinya bersamaan. “Kenapa harus secepat ini? Ini juga terlalu dekat, aku belum punya persiapan sekarang.. tapi jika tidak sekarang, kapan lagi?”
Raya mengenakan sebelah sepatunya yang lain. Sedang Adjie masih belum memiliki persiapan yang cukup. Dia masih menghitung waktu, masih mencoba mencari kata-kata yang cocok untuk digunakan sebagai sapaan. Sejujurnya dia tidak pernah segugup ini sebelumnya, padahal hanya untuk mengatakan ‘hai’ atau sapaan lain, padahal biasanya dia mampu bicara lugas dan tegas dengan lantang di hadapan umum. Mempresentasikan proyek yang dikerjakannya dengan sempurna. Tapi urusan cinta… ternyata lain ceritanya.
Raya hampir selesai mengenakan kedua sepatunya. Hanya tinggal beberapa menit kesempatan yang tersisa. Padahal lidah Adjie masih kelu. Tapi dia harus bertindak atau tidak ada kesempatan lain sama sekali.
“Assalamu ‘alaikum, Bu Polwan?” sapa Adjie. Akhirnya keberanian untuk menyapa dia dapatkan juga, mungkin karena biasanya dia tidak acuh dan tidak pernah peduli dan menyapa seorang gadis maka untuk memulai sebuah percakapan bahkan lebih sulit daripada mengerjakan rumus matematika manapun. Enggan dan memang tidak berani.
“Alaikumussalam..” jawab Raya. “Saya tidak asing dengan wajah anda, sepertinya anda langganan macet di daerah saya ya, Pak?” lanjut Raya membuka obrolan. Adjie tertawa malu saat tahu bahwa Raya ternyata menyadari tindakannya tiga hari terakhir ini. Di luar dugaan Raya, ternyata kesempatan itu datang. Kesempatan yang tidak disangka Raya akan bisa dia dapatkan begitu cepat, hanya berselang belasan menit yang lalu dia meminta pada-Nya. Benarkah sekarang sudah terkabul? Apa ini cara-Nya memperkenalkan mereka?
“Saya Adjie, Bu Raya,” kata Adjie memperkenalkan diri. Dia menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
“Wah.. kok anda sudah tahu nama saya?” Raya terkejut. Namun kemudian Adjie menunjuk papan nama yang tersemat di seragam gadis itu. Raya tertawa menyadarinya.
“Saya suka lupa saya sudah mempublikasikan nama di seragam saya.” Lanjut Raya. Masih diselingi tawa.
“Berapa lama tinggal di Semarang?”
Adjie mengerutkan kening. Seolah berfikir, “seingat saya sejak kecil, usia 10 tahun kayanya..” Raya manggut-manggut mengerti. “Sudah hafal Semarang dong ya..” gadis cantik itu berkomentar. Adjie mengangguk mantap mengiyakan. Dia memang orang Semarang asli, hanya saja ayahnya sempat dipindah tugaskan ke Blora dan dia baru kembali ke kota Atlas ini pada usia 10 tahun.
“Ngomong-ngomong, kenapa anda kayanya bolak-balik terus ya di Simpang Lima?” Raya tersenyum jail, sedangkan Adjie sudah tertawa malu dengan wajah yang mulai memerah. Tertangkap sudah.
“Saya suka lupa jalan,” jawab Adjie sekenanya.
“Ahahaha… bohong. Masa anda sudah jadi orang Semarang sejak usia 10 tahun tidak hafal jalan Simpang Lima?”
“Saya bukan tidak hafal, hanya suka lupa…” Adjie berkelit, beralasan.
Dan percakapan merekapun berlanjut dengan renyah, seolah kedua sahabat lama yang baru saja bertemu kembali setelah sekian tahun tak ada kabarnya. Percakapan itupun menjadi permulaan bagi kisah yang terukir hingga ujung usia mereka berdua.
Ada yang pernah mengatakan pada saya, bahwa do’a yang dipanjatkan untuk orang yang tidak tahu bahwa dia didoakan, akan terkabul. Saya pikir, mungkin karena do’a yang dipanjatkan keduanya adalah sama maka dua do’a itu saling tarik-menarik di langit dan kemudian terkabul dengan cepatnya. Soal bagaimana kelanjutan kisah mereka berdua, mari kita biarkan Tuhan yang menyelesaikan dengan cara-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar