Selasa, 12 November 2013

CERPEN : DIBALIK CADAR NAJWA

Wanita dengan sosok bercadar berlari ketakutan dalam rintikan hujan sampai ia tak sadarkan diri dan terjatuh tepat di depan gerbang pesantren. Udara sangat dingin ditambah hari yang mendung menambah kegigilan semua orang. Begitu yang dirasakan olehku, seorang putra kiyai H. Jauhari, di kehidupan pesantren dan di lingkungan santriwan-santriwati. Di rumahku yang disebut ndalem tampak ayahku H. Jauhari sedang menghangatkan tubuhnya di perapian, ia memanggilku ketika aku lewat.
“Wafa…” terdengar abah memanggilku. “….ikutlah menghangatkan tubuhmu, di luar udara sangat dingin.” Lanjutnya.
“Iya, Bah.” Aku terdiam memandangi wajah abah yang mulai keriput, tampak guratan-guratan di wajahnya yang semakin kentara.
“Kenapa? sepertinya kau ada masalah, benarkah?”
“Tidak Bah, Wafa tidak ada masalah apapun.” Jawabku berusaha menutupi, aku bingung harus bicara apa. “Abah lelah…?” lanjutku.
“Tentu saja, kau tahu sendiri abah baru saja mengisi pengajian pahingan seperti biasanya, alhamdulillah jama’ahnya semakin bertambah.”
“Alhamdulillah…” jawabku “tapi… abah tidak boleh terlalu kelelahan, abah harus banyak istirahat, abah kan sering kumat penyakitnya, sebaiknya serahkan saja urusan pondok dengan Kang Abdul, dia kan orang kepercayaan Abah, ilmunya juga tidak jauh beda dengan abah, hanya saja Kang Abdul belum mau naik haji.” sambungku
“Kenapa harus Kang Abdul? kau juga bisa kan wafa?” ketus abah, aku hanya mengerutkan dahiku.
“Ah, abah mana mungkin, Wafa belum mampu!”
“Lantas apa gunanya gelar sarjanamu itu? hanya untuk dipajang saja di dinding!” ledek abah membuatku membisu, aku tak sanggup berkata-kata lagi. Perkataan abah telah berhasil membungkam mulutku. Aku hanya menundukkan pandanganku dan berharap semoga Abah tak menanya-nanyaiku lagi. Kalau dilanjutkan aku bingung harus menjawab apa.
Lima detik telah berlalu, hujan di luar belum tampak tanda-tanda akan berhenti. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan kami.
“Seandainya saja Ummi masih ada, tentu ada yang merawat dan menasehati abah.”
Abah hanya mengernyitkan dahinya seraya berkata “tidak baik berandai-andai, menyalahi takdir namanya kamu kan tahu! biarkan Ummi mu tenang disana.” jawabnya
“Astaghfirullah…! maaf Bah, Wafa khilaf.”
Lima menit telah berlalu lagi. Dalam rintikan hujan yang semakin reda tiba-tiba semua santri geger karena menemukan sosok wanita bercadar yang tergolek tak sadarkan diri di gerbang pondok. Wanita tersebut segera diangkat ke Asrama putri.
“Siapa Dul?” tanya abah pada kang Abdul yang tampak panik.
“Saya juga tidak tahu Kiayi, kang Sholeh sama anak-anak putra yang menemukan wanita itu di depan gerbang sudah tidak sadarkan diri.”
Abah sangat penasaran, beliau dan kang Abdul masuk ke Asrama Putri, mereka ingin tahu siapa wanita tersebut, sementara santri-santri lain pun geger dibuatnya. Sementara Aku, Kang Sholeh dan lainya hanya menunggu di ndalem [1] juga dengan rasa penasaran, kami bukanlah orang-orang yang berhak masuk ke Asrama Putri semaunya. Kami sabar saja menunggu di ndalem, sementara kang Sholeh dan santri lainya kembali ke asrama masing-masing karena sebentar lagi adzan maghrib akan segera dikumandangkan.
Setelah sholat maghrib wanita bercadar itu siuman dan langsung dibawa ke ndalem, kali ini aku dapat melihatnya secara langsung. Di ruang keluarga aku dan Abah langsung menemui wanita itu yang mengaku bernama Najwa. Setelah selesai makan, Najwa yang kelelahan mulai bicara.
“Namaku Annajwa, kenapa aku bisa sampai sini karena aku dikejar-kejar oleh orang yang hendak menculik dan berniat jahat padaku. Saya yatim piatu, saya tidak memiliki keluarga maupun saudara, saya hanya seorang wanita musyafir maafkan saya karena telah meerepotkan kalian semua, saya harus segera pergi dari sini walau tak tahu harus pergi kemana?” ujar wanita bercadar itu dengan penuh keprihatinan, wanita berjilbab, wajah yang tetutup cadar hanya bola matanya yang hitam yang bisa kupandang, benar-benar wanita muslimah yang anggun, Ahh… aku tersadar dari lamunanku saat abah menyuruhku menyiapkan kamar untuk gadis itu.
“Siapkanlah kamar untuknya, untuk sementara Najwa tinggal di ndalem karena dia pasti butuh ketenangan.” perintah abah padaku.
Abah kembali berbincang-bincang dengan gadis itu ditemani Kang Abdul dan Mba’ Marsolah sebagai santriwati senior di pesantren, sementara aku beres-beres kamar yang akan ditempati wanita yang bernama Najwa itu. Sambil menyiapkan selimut, bantal tiba-tiba aku terbayang wanita bercadar itu. Dalam benakku “Annajwa… nama yang bagus, pasti sebagus parasnya juga akhlaknya, anggunya… berapa ratus santriwati disini tapi… baru kali ini aku melihat sosok wanita muslimah yang benar-benar anggun! Astaghfirullah!” aku tersadar betapa aku telah berfikir yang tidak-tidak tentang wanita itu, aku kembali ke ruang keluarga.
“Abah, kamarnya sudah siap.”
Abah langsung menyuruh wanita itu untuk istirahat di kamar. “Istirahatlah di kamar ditemani mba’ Marsolah, sementara ini tinggalah di Pesantren ini jadilah santri disini jika ada apa-apa jangan sungkan-sungkan pada kami. “tutur abah penuh perhatian, betapa ia tidak tega melihat perempuan musyafir itu yang hidup sendiri sebatang kara. Mba’Marsolah segera membawanya ke kamar. Aku, Abah dan kang Abdul siap-siap untuk sholat Isya di Musholah.
“Apakah tidak apa-apa jika wanita itu disini?” tanya Kang Abdul membuka pembicaraan sambil berjalan menuju mushola.
“Memangnya kenapa?” balik tanya Abah
“Ya, kita kan enggak kenal kiayi!”
“Lha, terus mentang-mentang nggak kenal lantas kita membiarkanya begitu saja, sementara dia sedang susah dan butuh pertolongan, apalagi dia seorang musyafir muslimah, sudah sepatutnya kita menolong, Dul! kamu kan tahu!”
“Iya sih Kiayi.”
Mereka mulai berwudhu, sementara aku diam saja pada masalah ini. Aku tidak ingin terlalu ingin ikut campur karena apapun keputusan Abah, itu pasti mungkin yang terbaik. Kami siap-siap sholat berjama’ah.
Pagi harinya setelah sholat subuh seperti biasanya warga pesantren langsung melaksanakan aktivitas-aktivitas hariannya, begitu pula Aku mengajar di kelas santri putra untuk mengajar diniyah ba’da subuh seperti biasanya. Sementara Najwa, wanita bercadar itu masih terlelap dalam tidurnya bahkan ia telah melewatkan sholat subuh sampai si Raja siang muncul. Jam 07.00 pagi aku dan Abah sarapan pagi.
“Kang Abdul kemana Bah?” tanyaku
“Abdul kan hendak ke Yogyakarta, salah satu keluarganya ada yang hajat.”
“Oh… pagi-pagi sekali.”
“Biarlah, sudah lama dia tidak pulang kampung.”
“Iya juga sih.”
Sambung Abah. “Oh ya, hari ini Abah ada undangan di Pesantren Pak Burhan, jadi kamu di pesantren saja jangan kemana-mana, siapa tahu nanti ada tamu, Kang Abdul kan tidak ada.”
“InsyaAllah Bah.”
Suasana ndalem yang sepi semua orang di Pesantren larut dalam aktivitas masing-masing, hanya aku dan wanita bercadar itu saja yang tidak kemana-mana, ku lihat wanita itu sudah bangun dari tidurnya menuju dapur.
“Maaf, kalau hendak sarapan sudah disediakan di meja makan, silahkan…” sapaku dengan lembut.
“Terima kasih.” suaranya yang lembut mulai berucap. Aku terkesima melihat keanggunanya, dibalik cadarnya pasti tersimpan wajah yang anggun. Ia pun tersenyum dibalik cadarnya. Oh, inikah yang namanya Cinta? Cinta memang hadir dalam begitu banyak wajah, seribu atau bahkan ribuan wajah cinta telah menyapaku ketika aku mengundangnya untuk memasuki kehidupanku. Ah…! aku benar-benar telah tenggelam di dalam alur kehidupan cinta, bukan alasan yang tepat bagiku untuk mengabaikan cinta. Apakah di hadapanku adalah cintaku?.
“Hey..! anda melamun? saya belum mengenalmu.” ia membuyarkan lamunanku.
“Oh ya, tentu! namaku Wafa, senang berkenalan denganmu.”
“Nama yang bagus, sesuai dengan ketampananmu.”
Aneh, gadis muslimah itu benar-benar berbeda dari wanita-wanita muslimah lainnya. Sapaan dan kata-katanya seakaan-akan begitu menggoda. Mungkin ini hanya perasaanku saja, karena terkubur dalam lamunan cinta. Segera aku keluar dari ndalem. Tapi aku tidak bisa membohongi hatiku, aku benar-benar jatuh cinta padanya rasa ini timbul dengan sendirinya, tentu aku harus menyapanya dengan pikiran sehatku.
Beberapa hari telah berlalu bahkan rasa sukaku kepada Najwa telah diketahui oleh Abah.
“Kalau kau memang tertarik padanya, jadikanlah ia istri mu, Abah rasa sudah sepantasnya kau menikah.” ujar abah mendukung.
“Tapi… Wali nya?”
“Kalau wali nasab tidak ada kan masih ada wali hakim.”
Aku tersenyum, betapa semanagatnya aku untuk menghitbah Najwa, gadis bercadar itu.
“Jadikanlah dia menjadi bagian dari keluarga pesantren ini.”
“InsyaAllah, Bah.”
Tapi ternyata keanggunan paras Najwa tak seanggun hatinya. Niat baikku ini disalahgunaan oleh Najwa, ia akan memanfaatkan kekayaan orang tuaku, kami akan benar-benar di kelabui oleh pikiran licik wanita bercadar itu. Kami saat ini benar-benar bodoh karena telah percaya begitu saja. Karena ternyata Najwa bukanlah wanita baik-baik, tidaklah seperti yang kami kira. Ia berhasil menipu kami semua sampai aku menikahinya. Sampai akhirnya aku menghitbah Najwa dan kami sah sebagai suami istri.
Pesan Abah padanya. “Najwa, jadilah istri yang sholehah jangan sekali-kali kamu meninggalkan suamimu, berikan kebahagiaan dan rawatlah suamimu serta anak-anakmu kelak.”
Abah berharap Najwa bisa menjadi istri yang baik dan bisa membahagiakan ku, itu sudah menjadi harapan setiap orang tua, terutama aku adalah anak satu-satunya Abah. Aku meneteskan air mata, sementara Najwa yang licik kini telah menjadi istriku di otaknya telah tersusun rapih rencana-rencana licik yang akan menjatuhkanku dan keluargaku. Tapi apa mau dikata kami tak pernah tahu akan sifat busuknya itu, yang kami tahu Najwa adalah sosok wanita baik-baik apalagi ia berkerudung terlebih bercadar pula tak pernah terpikirkan dibenakku akan kejahatannya. Hati Najwa berkata. “Aku benar-benar hebat! aku telah berhasil mengelabui Wafa dan Kiayi itu! dasar bodoh! dengan mudahnya aku menjadi istri anak kiayi yang kaya dan termasyhur, dengan begitu aku bisa merampas kekayaan mereka dan segera pergi dari sini, aku harus pergi keluar negri sebelum polisi mengetahui keberadaanku.” ia tersenyum pasi seraya menaikkan sebelah alis matanya.
Saat malam pertamaku ini Najwa menolak berhubungan denganku dengan alasan ia sangat lelah dan belum siap. Dengan sabarnya aku memberi pengertian, bahkan begitu seterusnya selalu ada alasan untuk menolak ia hanya bilang. “Maaf Mas, aku sedang berhalangan jadi Mas bersabar ya…”. Aku terus sabar.
Bahkan sudah hampir satu bulan pernikahan kami, tapi sampai saat ini aku belum pernah menafaqohi batinku layaknya suami-suami pada umumnya. Di benakku mulai muncul kecurigaan, bahkan aneh tapi aku selalu berhasil dikelabuinya. Di belakangku ia senyum sisnis, hatinya tertawa-tawa karena telah berhasil mengelabuiku. Di tengah malam dikala semua warga pesantren telah lelap dalam tidurnya, dengan beraninya Najwa wanita bercadar itu masuk ke dalam kamar Abah, ia mengambil semua perhiasaan peninggalan Ummi. Abah tidur dengan pulasnya sehingga tak menyadari perhiasan-perhiasan almarhummah istrinya telah lenyap, Najwa lah pelakunya.
Sebelum subuhan abah menyempatkan menyaksikan berita di televisi, berita itu mengabarkan adanya buronan polisi seorang wanita yang bernama Gubara, wanita berkedok musyafir muslimah yang saat ini menyamar sebagai wanita berjilbab dan bercadar yang kabur dari tahanan setelah dua minggu ditahan dengan kasus pembunuhan dua orang lelaki, bukan hanya itu saja tetapi juga sebagai pekerja s*ks kelas atas sekalligus pengedar nark*ba. Abah terkejut saat mendengarnya jantuungnya terasa berhenti mendengarkan penuturan pembawa berita di tv itu yang menampilkan foto Najwa alias Gubara yang menjadi buronan polisi, abah benar-benar syok karena ia memiliki menantu seorang buronan.
Pada saat yang sama ternyata Najwa mendapati Abah tengah menyaksikan berita tentangnya. “Gawat! Kiayi ini telah tahu siapa aku sebenarnya!!” pikirnya cemas dalam hati.
Tapi abah tenang-tenang saja tak tampak ada kebencian ketika melihat Najwa. Karena ia sadar wanita bercadar bukanlah hanya Najwa saja, mungkin hanya kebetulan saja wajahnya hampir serupa. Tapi Najwa yang takut dan panik segera bertindak, dengan manisnya Najwa menyuguhi Kiayi segelas minuman teh yang sudah ia campurkan racun mematikan. Benar-benar perempuan licik.
“Abah, alangkah enaknya nonton televisi sambil ditemani teh hangat, di minum Bah.” ia menyuguhi sambil tersenyum pasi.
“Iya terima kasih, suami mu belum bangun tumben-tumbenan biasanya selalu bangun lebih awal.” ujar Abah sambil meneguk teh hangat yang beracun itu. Najwa memandang dengan penuh kebencian, tertawa dalam hati karena sebentar lagi maut menjemput sang Kiayi.
Azan subuh berkumandang, seperti biasanya kami tak pernah telat untuk sholat berjamaah, termasuk aku walaupun pagi ini aku bangun sedikit telat, mungkin karena terlalu lelah, sehingga tidurku lelap sekali. Kami berjamaah bersama para santri. Tapi kali ini tumben-tumbenan untuk kang Abdul yang sedang minum kopi panas, ia tampaknya sedang malas berjamaah, entah setan apa yang telah mempengaruhnya. Abah tak pernah telat untuk mengimami jamaah subuh, aku juga sedikit aneh karena Abah terlihat begitu pucat. Jamaah subuh pun berlangsung. Setelah usai salam yang pertama Abah langsung tergolek lemas, dari mulutnya keluar banyak busa kental. Seisi mushola benar-benar terkejut dan panik terlebih aku. Aku menangis tatkala Abah menghembuskan nafasnya yang terakhir. “Prangg!!!” cangkir kopi kang Abdul pun jatuh pecah ke lantai, benar-benar firasat buruk.
Ku genggam tangan Abah yang dingin dan kaku. Urat nadinya tak berdenyut lagi.
Ya Allah!apakah malaikat maut telah membawa Abah pergi tanpa sepengetahuanku!.Seisi pesantren pun ikut geger atas kepergian Kiayi mereka. Kini telah kusaksikan Abah yang telah disambut oleh maut. Semua orang yang menyaksikan mencucurkan air mata. Ya, air mata kesedihan.
Pagi hari yang kelam bendera kuning telah berkibar dalam kebisuan. Angin sepoi pagi melangkah dalam penderitaan dan kedukaan. Langit pun menurunkan hujan turut berduka cita atas belas kesedihanya. Roh nya mengucapkan selamat tinggal pada dunia, ia menghela nafas penghabisan. Apakah aku patut menyalahkan maut! karena ketidakadilannya padaku. Tapi inilah takdir, Abah akan menemui Ummi di surga Firdaus.
Pagi ini almarhum Kiayi akan segera dimandikan, dikafani, disholati dan segera dikebumikan, tentu dengan meninggalkan banyak kenangan di Pesantrennya yang sudah lama di pimpinnya bahkan menjadi salah satu Pesatren termasyhur. Kini pesantren berduka, pesantren benar-benar berkabung atas kepergian tuan mereka.
Seminggu sudah kepergian Abah, kini hanya aku dan Kang Abdul yang memimpin Pesantren aku berharap pesantren Abah ini akan selalu berdiri kokoh bersama ratusan santri yang mengabdi demi menimba ilmu yang barokah. Segala acara kang Abdul dan kang Sholeh yang mengatur, aku juga mengisi beberapa acara pengajian menggantikan Abah. Walau bagaimanapun aku adalah penerus Kiayi yang akan meneruskan perjuangan beliau di pesantren. Semoga Allah merestuinya InsyaAllah…
Ahad pahing kali ini aku yang mengisi ceramah ini untuk yang pertama kalinya. Dengan sengaja Najwa mendengarkan dari samping luar mushola. Matanya mulai berkaca-kaca dan akhirnya meneteskan air mata kesedihan, jujur baru kali ini ia menangis. Hatinya seakan-akan luluh ada perasaan yang berbeda terhadapku. Ia melirikku, apakah ia mulai menyukaiku? Aku memberi kesempatan melirik kepadanya dengan senyum sapa.
“Aku telah menemukan cintaku.” gumam Najwa dalam hati. Ia merasa beribu-ribu bersalah padaku dan keluargaku.
“Aku harus pergi! aku tidak boleh disini ini bukan tempatku! ini bukan duniaku.” Dengan mengenda-ngendap dari belakang asrama putra karena lebih dekat dengan jalan besar, ia berusaha keluar dari lingkungan pesantren. Dalam keadaan was-was tiba-tiba kang Sholeh mengagetkanya.
“Neng Najwa? sedang apa disini?”
Najwa benar-benar kaget dan berteriak kecil.
“Apa-apaan sih kamu mengagetkan saya!” bentaknya
“Maafkan saya Neng, saya Cuma heran saja kenapa Neng Najwa bisa ada disini.”
“Ahh… itu… itu… aku… aku..” jawabnya terbata-bata. “Aku sedang mencari Mas Wafa!”
“Loh, kan kang Wafa sedang mengisi pengajian di mushola.”
“Oh iya, aku lupa ya sudah! saya ke mushola sekaran, permisi!” jawabnya ketus. Aneh tingkahnya benar-benar mencurigakan. Kang Sholeh kembali ke Asramanya.
“Mir, tadi aku bertemu Neng Najwa gerak geriknya sangat mencurigakan.” Bisik kang Sholeh pada Amir
“Kang Sholeh tidak boleh suudzon, dia kan juga pemilik pesantren ini jadi bebas mau ngapa-ngapain…”
Bola mata kang Sholeh benar-benar dalam dan hitam, ia telah merasakan keanehan pada Najwa. Segera ia tepis pikiran-pikiran buruknya jauh-jauh.
Malam ini aku sangat lelah seharian ini aku sibuk dalam acara pengajian pahingan, mungkin inilah yang dirasakan Abah dulu. Najwa yang masih disini karena gagal untuk kabur tadi siang, ia menghampiriku.
“Mas wafa lelah…?” sapanya dengan lembut.
“Ya, tentu saja sepertinya badanku pegal-pegal semua.” jawabku menggeliat.
Najwa sebenarnya ingin berterus terang kepadaku dan keluarga pesantren yang lain, tapi ia takut aku kaget dan pikirnya mungkin aku bisa membunuhnya karena murka atas kejahatannya. Semenjak kepergian Abah akibat ulahnya, ia dihantui rasa bersalah sudah banyak korban yang jatuh karena kebiadabanya. Najwa memandangku cemas keringat dingin bercucuran. Di luar mulai rintik-rintik hujan sejak sore tadi memang langit terlihat mendung, beberapa hari ini memang sering hujan, padahal belum waktunya musim penghujan. Baru saja Najwa akan mengatakan sesuatu, tiba-tiba kami kedatangan tamu yang tak di duga-duga. Tiga orang polisi berseragam dua laki-laki dan satu perempuan. Kami kaget terlebih aku, pikirku ada apa ini? kenapa kami berurusan dengan polisi. Kami segera keluar Aku, Kang Abdul dan beberapa Ustadz menghampiri di ruang tamu ndalem. Sementara Najwa menguping dari dalam kamar dalam keadaan ketakutan dan gemetar tubuhnya basah kuyup bagai mandi. “Tamatlah riwayatku…” pikirnya cemas.
“Permisi, sebelumnya kami mohon maaf mengganggu aktivitas anda, kami dari pihak kepolisian mendapat kabar kalau buronan kami telah lari dan dikabarkan bersembunyi di lingkungan pesantren. Kami akan mendata santriwati disini sekaligus mengintrogasi beberapanya, di mohon izinnya.” Kata salah satu polisi itu.
“Iya pak, kami persilahkan.” jawabku dengan kang Abdul
Sementara itu semua santriwati geger dan panik, padahal mereka tak mungkin dinyatakan bersalah. Najwa sendirian di kamar dalam kebimbangan dan ketakutan bercampur rasa bersalah. “Bagaimanakah nasibku…?” lirihnya gemetar.
Introgasi selesai tidak tampak ada kecurigakan. Para polisi itupun berpamit pada kami. Najwa seedikit lega pernapasanya mulai berfungsi lagi. Aku menghampirinya di kamar.
“Najwa, kau sangat pucat sakit kah?”
“Tidak Mas, aku tidak apa-apa.”
“Ya sudah, sebaikya kita segera tidur, hari sudah malam nanti kita bangun lalu mujahadah bersama, akhir-akhir ini Mas merasakan akan datangnya sebuah masalah. Kita harus lebih banyak mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.”
Najwa menangis, di kamar hanya aku dan istriku ini kubuka cadarnya dan ku hapus air mata yang membasahi pipinya, entah apa yang membuatnya menangis.
“Kenapa kau menangis?”
Allah telah membuka pintu hatinya untuk bisa mencintaiku dengan setulus hati bukan karena harta belaka.
“Jangan ceraikan aku Mas… apapun yang terjadi…”
“Apa maksudmu…?” Tanyaku heran.
Najwa tak kuasa menahan tangis, ia pandangi wajahku yang tengah menatapnya heran. Ia sadar selama ini ia hidup bersama orang yang perhatian dan mencintainya dengan tulus. Aku hanya mengira mungkin ia hanya merasa bersalah karena sampai saat ini belum memberikan nafaqoh batinnya.
“Aku tak pernah punya pikiran untuk menceraikanmu, aku sangat mencintaimu apa adanya…” Jawabku
Ketika baru saja akan kucium keningnya, di luar ribut kembali dengan suara kegaduhan, bukan karena hujan melainkan datangnya kembali para polisi kali ini bukan tiga orang polisi tapi beberapa mobil polisi mengepung dari luar pesantren.
“Apa yang terjadi?”
Pintu kamarku segera digedor-gedor dengan kasarnya. Setelah pintu terbuka polisi langsung menangkap Najwa dengan kasarnya tanpa perasaan bahwa dia istriku, bukan binatang. Kami mulai ribut karena kemarahanku atas ketidaksopanan mereka, aku juga tidak tahu apa permasalahannya.
“Wafa! Istrimu ini adalah buronan polisi yang lari dari tahanan lalu dia lari kepesantren ini, aku telah membaca berita-berita tentangnya juga laporan polisi beserta foto-foto yang beredar, dia menyamar sebagai wanita musyafir dan berkedok sebagai muslimah! dia wanita biadab! dia Gubara yang menyamar sebagai Annajwa!”.Jantungku terasa berhenti berdetak, penuturan Kang Abdul benar-benar mengagetkanku. Ternyata ia yang melaporkan pada polisi. Setelah mengetahui kejahatan Najwa dan kang Abdul segera menghubungi polisi. Kini terungkap semua tabir kejahatan Najwa alias Gubara. Najwa segera diseret keluar dengan jeritan histeris.
“Mas Wafa… Maafkan aku…!”
“Aku tidak menyangka kau…!” aku benar-benar syok.
“Berikan aku kesempatan tuk bicara….!” polisi merenggangkan pegangannya memberi kesempatanya untuk bicara.
“Maafkan aku mas, aku telah menghianatimu, aku memang jahat selama ini aku telah menghianati kalian semua!” di hadapan kami dan seluruh santri, Najwa yang nama aslinya adalah Gubara menjelaskan semuanya. “Aku memang seorang buronan, aku lari dari tahanan setelah dua minggu ditahan dengan banyak kasus, aku telah membunuh dua orang lelaki yang telah meniduriku tanpa meninggalkanku sepeser uang pun. Aku adalah wanita pengh*bur di hotel ternama! aku seorang pel*cur Mas! aku juga pemakai nark*ba. Aku telah terjangkit Virus HIV, makanya aku selalu menolak pabila mas mengajakku berhubungan. Kau terlalu mulia Mas, kau terlalu suci untuk tertular virus jahannam ini, aku tidak mau menyakiti lebih banyak orang lagi! walau bagaimanapun aku telah menaruh cinta padamu.”
Badanku gemetar, otakku terasa akan pecah. Aku benar-benar syok, ku jambaki rambutku. Astaghfirullahh… aku benar-benar tak menyangka akan menikahi wanita penzina dan pembunuh seperti dirinya pikiranku telah kacau.
“Kau manusia atau hewan!” bentakku keras di hadapannya
“Aku akui aku memang wanita bajingan Mas, aku juga yang telah meracuni abahmu sampai meninggal, karena dia telah tahu siapa aku sebenarnya, aku pula yang telah mengambil perhiasan Ibu mu!”
Kemarahanku semakin meledak, tanganku sampai melayang di wajahnya, kalau bukan karena dihalang oleh kang Abdul mungkin sudah kubunuh wanita baj*ngan itu. Aku hilang kendali.
“Biarkan aku mematahkan batang lehernya!!!” kang Abdul merangkulku. “Jangan Kang! eling kang.. eling.!”. Saat itu pula Najwa lepas dari genggaman polisi, Ia lari dari halaman pesantren lari ke arah jalan raya, semua polisi segera bertindak. Beberapa santri ikut mengejarnya. Di malam yang hujan ini benar-benar malam yang penuh dengan kemarahan. Peristiwa ini benar-benar bagai petir yang menghujamku.
Najwa wanita bercadar itu terus berlari. Di buka jilbab yang selama ini menutupi auratnya sampai ia hilang kontrol, ia tak menyadari telah melaju cepat mobil berwarna hitam. “Tiiiinnnn!!!” kerasnya suara klakson mobil itu tak memberi kesempatan Najwa untuk menghindar. Tubuhnya di hantam mobil itu, terdengar suara jeritan Najwa teriakannya memecah keramaian suara gemuruh hujan. Darah membanjiri tubuhnya yang tak lain adalah Gubara.
Selang beberapa hari Najwa lepas dari masa kritis dan berhasil diselamatkan, bahkan saat ia siuman aku berada di sampingnya. Walau bagaimanapun ia masih istriku.
“Mas…”
“Kamu jangan banyak bergerak, kamu masih sangat lemah.” tuturku penuh kasih sayang, aku tak larut dalam kebencianku.
“Maafkan aku Mas, aku telah menghianati cinta sucimu.”
“Sudahlah bukan saatnya membahas itu, aku mencintaimu dan membutuhkanmu di sampingku dengan kesejatian dan kebahagiaan hidup, bukan dengan kepalsuan yang terus menerus menyeretku dalam kesemuan semata.”
“Ceraikan aku Mas, aku terlalu kotor untukmu, carilah pendamping hidup yang lebih suci dariku aku tidak pantas untukmu.”
“Tapi…!”
“Aku mohon, aku tak ingin menambah kesalahanku untuk yang kesekian kalinya.” ia memohon hal yang berat bagiku.
“Baiklah jika itu maumu…”
“Aku akan ditahan seumur hidup, aku tidak akan membiarkan Mas menantiku. Tapi sebelumnya aku ingin meminta maaf pada keluarga pesantren, karena aku telah mencoreng nama baik pondok terutama pada kalian semua.”
Maka esok harinya Najwa bersama polisi datang ke Pesantren untuk menyampaikan permohonan maafnya pada warga pesantren terutama padaku.
“Maafkan aku mas, ceraikanlah aku…” tuturnya dihadapanku dengan berlinang air mata.
Aku meneteskan air mata. “Baiklah, aku ceraikan kamu setelah kamu keluar dari lingkungan pesantren ini maka jatuhlah Talakku padamu…”
Polisi segera membawanya masuk kedalam mobil dan lambat laun meninggalkan kehidupan pesantren. Aku menatapnya dari jauh, kang Abdul menepuk pundakku dari belakang seraya berkata. “Yang sabar kang…”
Aku pasrah pada yang Kuasa, aku berdo’a sambil menggigit kenanganku yang pahit. Dadaku sesak aku tak bisa menangis.
Beberapa bulan kemudian lewat kabar berita aku mendengar kematian Najwa. Mayatnya ditemukan di kamar mandi tahanan dengan beberapa tikaman di tubuhnya. Bau mayat tercium. Aku juga kaget mendengarkan kematian mantan istriku itu tewas dengan mengenaskan. Betapa perkasanya maut, betapa bangganya malaikat membawanya pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar