1. Pengantar
Desamu pernah kedatangan kafilah suku Kubu?, hingga saat ini jalan 22
unit 3 masih kerap disambangi pribumi asli Jambi ini. Hal yang sama juga
terjadi di jalan 23 unit 3, kafilah ini biasanya bermukim diantara
sekolah dasar 334/II dan jalan 23 unit 3. Jambi adalah sebuah propinsi
yang ada di Indonesia. Di sana ada sebuah masyarakat yang dikategorikan
sebagai terasing, yaitu masyarakat Kubu. Mereka tersebar secara
mengelompok di daerah pedalaman (hutan) pada beberapa kabupaten yang
tergabung dalam wilayah Provinsi Jambi, yakni: Bungo Tebo, Sarolangun
Bangko dan Batanghari. Ini artinya hanya Kotamadya Jambi, Kerinci, dan
Tanjungjabung yang “bebas” dari orang Kubu. Mungkin inilah yang kemudian
membuat seseorang jika mendengar kata “Kubu” maka yang ada di kepalanya
adalah Jambi, walaupun orang Kubu ada juga di daerah Sumatera Selatan;
tepatnya di Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas (Melalatoa,
1995).
Pada tahun 2000, tepatnya tanggal 23 Agustus 2000, sebagian
wilayahnya diresmikan sebagai Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) oleh
Menteri Kehutanan dan Perkebunan, dan dideklamasikan oleh Presiden RI
pada tahun 2001 di Jambi. Taman yang merupakan kawasan hutan konservasi
ini secara keseluruhan luasnya 60.500 hektar, dengan rincian: 6.758
hektar ada di wilayah kabupaten Sarolangon, 40.669 hektar ada di
Kabupaten Batanghari, 12.483 hektar ada di Kabupaten Tebo (ada selisih
590 hektar dengan yang disebutkan dalam SK Menteri Kehutanan). Ini
artinya, TNBD yang secara astronomis terletak di antara 1º45’–1º58’
Lintang Selatan dan 102º32’–102º59’ Bujur Selatan ini, secara
administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten yang bersangkutan.
Alamnya berupa dataran rendah, bergelombang (dengan kemiringan 2–40º
Celcius) dan perbukitan dengan ketinggian 50–438 meter dari permukaan
air laut. Bukit tertinggi adalah Bukit Kuran yang tingginya kurang lebih
438 meter dari permukaan air laut. Perbukitan itu sebagian besar
diselimuti oleh hutan sekunder, bekas areal konsesi HPH. Hutan alam yang
masih tersisa, selain terdpat di areal cagar biosfer Bukit Dua Belas,
juga di bagian utara cagar tersebut yang sebagian besr berstatus sebagai
Hutan produksi Terbatas (HPT), dan sebelah timur cagar yang luasnya
terbatas. Hutan ini merupakan hutan tropis dataran rendah yang menjadi
habitat satwa liar, seperti tapir (tapirus indicus), dan harimau
sumatera (panthera tigris sumatera). Jenis tanahnya didominasi oleh
podsolik yang tidak terlalu subur dan mudah tererosi.
Wilayah yang disebut sebagai Bukit Dua Belas ini berada di bagian
tengah Propinsi Jambi. Ia berada di antara jalur-jalur perhubungan
darat, yakni di antara lintas tengah dan timur Sumatera, serta lintas
tengah Jambi. Ia juga diapit oleh empat sungai yang cukup besar, yakni
Sungai: Batang-hari yang berada di bagian utara, Tabur yang berada di
bagian barat, Tembesi yang berada di bagian timur, dan Merangin yang
berada di bagian selatan.
2. Asal Usul
Berdasarkan Kelisanan
Ada berbagai versi tentang asal-usul orang Kubu. Versi pertama
mengatakan bahwa mereka berasal dari Sumatera Barat. Konon, mereka
adalah orang-orang yang tidak mau dijajah oleh Belanda. Untuk itu,
mereka masuk ke hutan dan mengembara sampai akhirnya ada di daerah
Jambi.
Versi kedua mengatakan bahwa mereka adalah tentara yang tersesat.
Konon, pada zaman Kerajaan Jambi diperintah oleh Putri Selaras Pinang
Masak, kerajaan diserang oleh Orang Kayo Hitam yang menguasai Ujung
Jabung (Selat Berhala). Serangan itu membuat Jambi kewalahan. Untuk itu,
Ratu Jambi yang notabene adalah keturunan Kerajaan Minangkabau mohon
bantuan kepada Raja Pagaruyung. Dan, Sang Raja memperkenankan
permohonannya dengan mengirimkan pasukan ke Jambi melalui jalan darat
(menyusuri hutan belantara). Suatu saat ketika sampai di Bukit Duabelas
mereka kehabisan bekal, padahal sudah jauh dari Pagaruyung dan masih
jauh dari Jambi. Kemudian, mereka bermusyawarah dan hasilnya kesepakatan
untuk tetap tinggal di tempat tersebut, dengan pertimbangan jika
kembali ke Pagaruyung disamping malu juga bukan hal yang mustahil akan
dihukum oleh rajanya. Sementara itu, jika meneruskan perjalanan ke Jambi
disamping masih jauh juga bekal tidak ada lagi. Kemudian, mereka
bersumpah untuk tetap tinggal di tempat itu dengan ketentuan siapa saja
melanggarnya akan terkutuk dan hidupnya sengsara. Sumpah itu adalah
sebagai berikut:
“Ke mudik dikutuk Rajo Minangkabau, ke hilir kena kutuk Rajo Jambi,
ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan kumbang, kebawah tidak
berurat, ditimpo kayu punggur” (Kembali ke Minangkabau dikutuk Raja
Minangkabau, ke hilir dikutuk Raja Jambi, ke atas tidak berpucuk, di
tengah-tengah dimakan, kumbang, ke bawah tidak berakar, ditimpa kayu
lapuk).
Para tentara Pagaruyung yang membawa isteri dan tersest di Bukit
Duabelas itulah yang kemudian menurunkan orang Kubu. Terpilihnya bukit
ini sangat beralasan karena di sana banyak batu-batu besar yang
sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai benteng. Selain itu, di sana asa
sumber air dan sungai-sungai kecil yang menyediakan berbagai jenis ikan
yang sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan hidup mereka.
Versi ketiga mengatakan bahwa orang Kubu adalah keturunan Bujang
Perantau dan Puteri Buah Gelumpang. Konon, pada zaman dahulu ada seorang
perantau laki-laki yang bernama Bujang Perantau. Ketika perantau itu
sampai di Bukit Duabelas, suatu malam ia bermimpi. Di dalam mimpinya ia
disuruh agar mengambil buah gelumpang, kemudian buah itu dibungkus
dengan kain putih. Jika itu dilakukan maka akan timbul keajaiban. Begitu
bangun, ia langsung melakukannya. Buah gelumpang yang dibungkus dengan
kain putih itu menjelma menjadi seorang puteri yang sangat cantik
(Puteri Buah Gelumpang). Setelah besar, Sang Puteri mengajak kawin. Akan
tetapi, Bujang Perantau menjawab bahwa tidak ada orang yang mau
mengawinkan. Mendengar jawaban itu Sang Puteri menyarankan agar Bujang
Perantau menebang pohon bayur kemudian dikupas agar licin dan
dilintangkan di sungai. Bujang Perantau disuruhnya meniti dari salah
satu ujung batangnya. Sementara, Puteri Buah Gelum-pang meniti dari
ujung yang satunya lagi. Jika di tengah titian tersebut mereka bertemu
dan beradu kening, maka itu berarti syah menjadi suami-isteri. Dan,
ternyata mereka dapat melakukannya dengan baik. Oleh karena itu, mereka
syah menjadi suami-isteri. Perkawinan mereka membuahkan 4 orang anak,
yaitu Bujang Malangi, Bujang Dewo, Puteri Gading, dan Puteri Selaro
Pinang Masak. Anak pertama disebut pangkal waris dan anak terakhir
disebut ujung waris.
Alkisah, Bujang Malapangi dan Puteri Selaro Pinang Masak keluar hutan
dan mendirikan kampung. Dan, ini berarti mengikuti jejak ayahnya
sebagai orang terang. Sementara itu, Bujang Dewo dan Puteri Gading tetap
berada di hutan mengikuti jejak ibunya sebagai Orang Rimbo. Perpisahan
kedua kelompok saudara ini menimbulkan perselisihan, tetapi
masing-masing tetap mengakui sebagai kerabat. Untuk itu, perlu dibedakan
antara yang berkampung dengan yang tetap di hutan dengan persumpahan.
Sumpah Bujang Malapangi yang ditujukan kepada Bujang Dewo adalah sebagai
berikut:
“Yang tidak menyam-but arah perintah diri waris dusun, bilo waris
menemui di rimbo dilancungkan dengan maka seperti babi, biawak, tenuk,
dan ular sawa; keno kutuk ayak pertuanan, keno sumpah seluruh Jambi ….”.
Artinya dari sumpah ini ialah bahwa orang Rimbo itu adalah orang yang
tidak mau nurut saudara tua (pangkal waris), bila saudara tua menemuinya
di hutan disuguhi babi, benuk, biawak, dan ular (semua binatang ini,
orang terang dilarang memakannya); bakal dimarahi seluruh orang Jambi.
Sumpah Bujang Dewo ditujukan kepada Bujang Malapangi yang sudah menjadi orang Terang:
”Di air ditangkap buaya, di darat ditangkap harimau kumbang, d-itimpo
kayu punggur, ke atas dikutuk pisau kawi, ke bawah keno masrum kalimah
Allah, di arak kabangiyang, ditimpo langit berbelang, ke atas tidak
berpucuk, ke bawah tidak berakar, …. dan orang yang berkampung itu
adalah: “berpadang pinang, berpadang kelapo, dislamkan, rapat dilur
rencong di dalam, bersuruk budi bertanam akal, berdaging dua, bergantang
dua, bercupak dua”. Arti dari sumpah itu ialah bahwa orang yang
berkampung itu adalah orang yang celaka ibarat orang yang kemanapun
celaka, ke air dimakan buaya, ke darat dimakan harimau, ditimpa kayu
punggur, dikutuk oleh senjata keramat, terkena laknat kalimah Allah,
selalu diikuti setan, tertimpa langit di sore hari, tidak punya atasan
dan tidak punya bawahan; adapun tandanya adalah: menanam pinang, kelapa,
dislamkan; baik di luar busuk di dalam, tidak berbudi dan mengakali
orang, berpedoman dua/tidak punya pendirian.
Walaupun demikian, ada semacam kesepakatan bahwa Bujang Malapangi dan
keturunannya tetap dianggap pangkal waris dan berkedudukan di desa,
sedangkan yang tetap tinggal di hutan dapat terus mempertahankan adat
nenek moyang (Bujang Perantau dengan Putri Buah Gelumpang).
Versi keempat menceriterakan bahwa, konon pada masa lalu pantai Pulau
Sumatera sering didatangi para bajak laut. Mereka biasanya datang
bersama isteri dan anaknya. Suatu saat seorang anak lelakinya diketahui
berhubungan intim dengan adik perempuannya. Padahal, hubungan seperti
itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh mereka. Oleh karena itu,
kedua insan yang berbeda jenis kelaminnya itu dikenakan sanksi berupa
pengucilan, yaitu ditinggalkan atau dibiarkan hidup berdua di hutan.
Bahkan, bukan hanya itu; mereka tidak diperbolehkan untuk
memper-lihatkan diri kepada orang lain. Di sanalah mereka akhirnya
beranak-pinak kemudian mendirikan suatu perkampungan di daerah Ulu
Kepayang, dekat Dusun Penamping yang terletak di pinggir sungai Lalan
(sekarang termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Selatan). Konon,
inilah perkampungan pertama mereka.
Tampaknya perlu diketahui juga bahwa orang Kubu banyak yang berpindah
ke Tanjung Semiring; tepatnya di tepi sungai Lalan, di hilir Dusun
Karang Agung. Di daerah tersebut ada seorang yang bernama Temenggung.
Orang itu kemudian diangkat sebagai kepala suku. Oleh karena itu, kepala
Orang Kubu disebut sebagai temenggung. Mereka yang berada di daerah ini
disebut dengan nama lebar Telapak, karena ciri fisik mereka yaitu
dengan bentuk kaki yang lebar terutama kaum laki-lakinya. Dari
Tumenggung yang berasal dari Blidah, Dusun Cambai dengan istrinya yang
bernama Polot dari marga betung di daerah Banyuasin, Dusun Gemuruh,
mereka memperoleh 6 (enam) orang anak laki-laki yang setiap orangnya
mempunyai sifat dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat Kubu, yakni:
1) sejaring pandai dalam hal menangkap ikan atau menjala ikan, 2)
semincan atau semancam adalah sifat pengancam atau sifat pemberani, 3)
semobah atau perobah adalah sifat yang senang berpindah-pindah/pemindah,
4) sebauk adalah ciri orang yang dihormati biasanya orang yang
berjanggut atau berdagu ganda, 5) senanding adalah sifat pedagang, 6)
semubung adalah sifat pendukung atau bekerjasama atau perantara.
Nama-nama tersebut di atas juga dikenakan oleh Temenggung sendiri,
dengan harapan seorang Tumenggung akan memiliki atau mempunyai keenak
sifat dan keahlian tadi. Sifat yang paling menonjol bagi seorang
Temengung adalah senang mengem-bara, berpindah-pindah tempat bersama
istri dan anak-anaknya. Seperti halnya perpindahan mereka ke teluk
Sendawar di tepi sungai Lalan, antara daerah Bayung Lincir dan Muara
Bahar. Di tempat ini pun mereka tidak bertahan lama, mereka berpindah
lagi ke daerah Rambahan di tepi sungai ke arah hulu Muara Bahar. Di
daerah ini mereka menetap agal lama, sampai mereka beranak-pinak.
Setelah itu Temenggung beserta istrinya scara tiba-tiba menghilang dan
tidak pernah kembali lagi, menurut kepercayaan masyarakat suku Anak
Dalam temenggung dan istrinya tidak meninggal dunia. Setelah ditinggal
pergi Temenggung dan istrinya, seluruh keturunan mereka mengadakan
pertemuan atau mu-syawarah di Muara Bahar. Mereka berkeinginan untuk
memisahkan diri, masing-masing ingin mencari tempat tinggal
sendiri-sendiri, oleh karena itulah nama Muara Bahar juga dikenal dengan
nama Muara Lebaran yakni tempat dimana mereka mulai berpencar,
berpisah. Tetapi ada juga masyarakat Kubu yang tetap tinggal di ulu
Kepayang, tidak ikut dalam perpindahan tetapi menetap di sekitar dusun
penamping (daerah sekitar Muara Bahar).
Mereka sangat jarang menceritakan asal usul, keturunan atau atau
silsilah mereka, karena mereka tahu dan merasa bahwa mereka merupakan
keturunan dari hasil perbuatan sumbang (incest). Disamping dianggap
kurang sopan juga merupakan aib atau noda bagi diri mereka sendiri.
Untuk menyebutkan nama orang tuanya pun mereka merasa cemas, karena
mereka takut akan mendapatkan malapetaka, mendatangkan pengaruh jahat.
Apalagi menyebutkan cikal bakal mereka yang melakukan zinah. Oleh sebab
itu mereka lebih senang mengatakan bahwa cikal bakal mereka berasal dari
Temenggung dan Polot. Dari keturunan Temenggung dari sebagian pergi ke
Nyarang yakni sebuah sungai kecil di sebelah hilir dusun bakung.
Sebagian lagi pergi ke arah hulu sungai Bahar, sebagian lain menetap di
sepanjang sungai Bayat dan mendirikan perkampungan Kelapa Sebatang.
Dinamakan kampung Kelapa Sebatang karena orang kubu disitu telah menanam
sebatang pohon kelapa sebagai hiasan. Namun, buah kelapa yang telah
dihasilkan dari pohon tersebut, tidak ada yang berani mengambil dan
memakannya, karena menurut anggapan mereka sesuatu yang ditanam atau
dipelihara apabila dimakan akan membuat mereka jatuh sakit. Suatu ketika
ada orang luar yang datang ke perkampungan mereka dan bertanya mengapa
buah kelapa tersebut tidak dimanfaatkan atau dimakan, orang Kubu
menjawab bahwa buah kelapa bisa membuat orang mabuk dan tidak baik. Oleh
orang luar tadi diberitahukan bahwa air kelapa manis rasanya dan
dagingnya enak, orang tersebut mengambil sebutir kelapa dan mengupasnya
serta meminum air serta memakan daging-nya. Setelah melihat bahwa memang
tidak berakibat apa-apa, maka orang-orang Kubu pun baru percaya bahwa
air kelapa dan daing kelapa ternyata bermanfaat bagi manusia. Setelah
kedatngan orang luar tadi, mereka berpindah tempat lagi dan mendirikan
perkampungan baru yang terletak di antara daerah Lubuk Malang dan Laman
Petai, mereka menamakan kampung tersebut dengan nama Kelapa Banyak,
karena mereka mulai menanami daerah tersebut dengan pohon-pohon kelapa.
Demikianlah sampai akhirnya perpindahan masyarakat Kubu sampai ke daerah
Jambi sekarang ini.
Versi kelima mengatakan bahwa masyarakat Suku Anak Dalam atau Kubu
adalah orang-orang dari kerajaan Sriwijaya. Pada saat Sriwijaya
mengalami keruntuhan karena serangan kerajaan Cola (India), orang-orang
Sriwijaya yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaan asing tadi melarikan
diri ke hutan, sehingga mereka akhirnya dikenal sebagai orang Kubu
seperti saat sekarang ini.
Berdasarkan Literatur
Ras Paleo-Mongolid atau Melayu Tua merupakan asal-usul bangsa Melayu
yang paling banyak ditemui di Indonesia yang oleh Von Eickstedt
digolongan atau dike-lompokan lagi dalam istilah Proto Melayu dan
Deustero Melayu. Salah satu unsur dari sisa ras tersebut yang dapat
dijumpai di Indonesia adalah yang disebut dengan nama Weddid atau
Weddoid. Nama tersebut berasal dari nama bangsa Wedda yang hidup di Sri
langka, dengan ciri-ciri fisik antara lain rambut berombak tegang atau
kaku, dan lengkung alis yang agak menjorok ke depan. Di Indonesia tipe
itu terutama dijumpai di semenanjung barat daya Sulawesi (daerah Toala,
Tomuna, dan tokea), di Sumatera Selatan dan Jambi, yakni suku Kubu,
semua itu masuk dalam golongan Proto-Melayu mempunyai ciri-ciri fisik
antara lain badan agak tinggi dibandingkan dengan kelompok yang pertama,
ramping, bundar wajahnya, bibir tebal, hidung lebar dan pesek, rambut
kejur hitam, dan wajah mirip raut wajah Mongol seperti tulang pipi
menonjol dan mata sipit. Golongan pertama dianggap yang mula-mula datang
ke nusantara, kemudian didesak atau terdesak oleh golongan yang kedua
ke pedalaman. Proto-Melayu dianggap sebagai kelompok yang lebih murni,
sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai kelompok yang lebih
murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai pengaruh atau
campuran dengan sukubangsa di pesisir. Ini artinya bahwa Orang Kubu
termasuk dalam Paleo-Mongoloid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar