Minggu, 03 November 2013

CERPEN : MAAF UKHTI DIA MILIKKU

Hari ini adalah hari pertama Zahra dan Qonita praktek KKN di kampung Belati. Zahra sengaja memilih di kampung ini karena ia bisa leluasa bertemu dengan lelaki yang telah melamarnya minggu lalu. Meskipun tidak selalu bertemu karena belum sah menjadi suaminya, namun setidaknya ia bisa melakukan interaksi langsung dengannya, di temani kakak perempuannya. Zahra dan Nita (panggilan Qonita) segera bersiap-siap untuk mengajar di MTS. Tepat jam 7, mereka mulai mengajar. Hari itu mereka hanya mengajar 1 jam pelajaran, kemudian diperbolehkan pulang.
Karena pulang lebih awal, akhirnya mereka memutuskan untuk keliling kampung agar bisa lebih mengenal sekitar. Kampung Belati, sebuah kampung yang sederhana, tidak terlalu maju, tidak juga terbelakang. Hawanya pun tidak perlu dipermasalahkan. Tidak terlalu panas, karena masih banyak pepohonan besar. Jika hujan deras, tidak akan banjir karena selain airnya menyerap ke akar pohon, di kampung ini juga terkenal bersih. Dikarenakan keadaan kampung seperti inilah, Zahra dan Nita semakin betah tinggal sementara di kampung Belati. Hari demi hari, minggu demi minggu mereka lalui kehidupan yang penuh liku.
“Nitaa, aku duluan ya ke masjidnyaaa.” Teriak Zahra
“Iyaa…” Zahra pun segera berjalan menuju masjid, meninggalkan Nita yang masih mandi. Maklum, baru pulang karena tadi di sekolah ada acara. Tak lama kemudian, terdengar suara adzan isya. Nita segera mempercepat langkahnya begitu selesai mandi. Entah kenapa perasaan tidak enak menyelimuti dirinya. Tetapi ia mencoba menepis rasa itu dengan beristighfar. Tiba-tiba matanya melihat segerombolan lelaki yang sedang tertawa terbahak-bahak di belokan jalan menuju masjid. Ia bingung, karena ini adalah jalan pintas agar bisa cepat sampai ke masjid. Selain itu, waktunya juga sudah mepet jika harus balik memutar jalan. Dengan mengucap bismillah, ia melewati gerombolan lelaki itu sambil pandangan menunduk dan setengah lari. “assalamu’alaikum ustdzaaahh.. mau kemana? Boleh tau namanya gaak?” Nita tidak mempedulikan pertanyaan yang membuatnya gak penting, ia semakin mempercepat langkahnya. Tanpa disangka-sangka, ada seseorang yang mencengkeram dan menarik lengannya. Nita meringis. “Sombong amat mbak. Cuma tanya nama aja gak boleh.” “maaf, saya buru-buru mau shalat. Sudah ketinggalan.” Jawabnya sambil ketakutan. “Heh mbak, lihat sini!!!”
Namun tiba-tiba ada yang mengucap istighfar dengan keras. Semua mata menoleh pada sumber suara. Nita heran karena semua lelaki gerombolan itu tiba-tiba menundukkan pandangannya. Cengkraman di lengannya belum dilepas. “Ada apa toh ini. Kenapa ada keributan.” Lelaki yang mencengkeram lengan Nita menjawab, “Cuma becanda kok ustad. Iya kan mbak?” sambil menoleh tajam ke arah Nita. Nita gelagapan dan bingung harus menjawab apa. Lelaki itu semakin menguatkan cengkramannya. Dengan meringis, Nita hanya pasrah dan terpaksa menjawab “Iya.” Ustad pun melanjutkan ceramahnya, “Kalian kan tau, ini sudah waktunya shalat isya, apa kalian tidak mendengar adzan tadi? Kenapa malah asik nongkrong gak jelas kayak gini. Astaghfirullaah, apalagi sudah berbuat yang tidak-tidak sama mbak Qonita. Kalian lihat, mbak Qonita ini mau ke masjid, jangan kalian menggangu dengan ulah kalian yang menurut kalian itu asik dan perlu dilakukan.” Semuanya masih menunduk dan mendengar ceramah ustad dengan khusyuk. Entah kenapa jantung Nita berdebar kencang. Ia juga heran, dari mana ustad ini tau namanya. “Sudah, sekarang kalian bubar, dan segera berwudhu, cepat shalat isya. Ayo!” Satu persatu meninggalkan tempat itu. Kini tinggal ustad dan Nita berdua. “Ehm, mbk Qonita mau ke masjid juga ya?” “Iya ustad. Syukron sudah menolong.” “iya, sama-sama. Ya sudah kalau gitu, bareng saja ke masjidnya.” “Iya, monggo ustad duluan.”
Selama diperjalanan, mereka berdua hanya tertunduk diam. Sebenarnya Nita ingin menanyakan, dari mana ustad itu tau namanya, ia juga gak tau nama ustad itu siapa. Tapi berhubung sudah sampai beranda masjid, maka niatnya ia urungkan. Mereka pun masuk melalui pintu yang berbeda arah. Nita dan ustad mengikuti gerakan imam, dan menambah kekurangan raka’at karena tadi ketinggalan.
Ketika mau pulang, Zahra menyuruh Nita untuk pulang duluan. Karena Zahra mau bertemu “someone” katanya. “kenalin donk..” Kata Nita becanda. “Iya kapan-kapan ya ukhti. Tenang aja, pasti Zahra kenalin kok.” Akhirnya Nita pulang duluan, meskipun agak takut kejadian tadi terulang lagi. Tetapi syukurlah, apa yang ditakutkan Nita tidak terjadi. Setelah sampai kost, Nita membuka Al-Qur’an dan membacanya dengan tartil.
Waktu menunjukkan jam 22.00, tapi Zahra belum pulang juga. Nita khawatir dan bingung. Ia mencoba menghubungi, namun tidak aktif. Akhirnya Nita memutuskan keluar, mencari Zahra. Ketika Nita membuka pintu, terlihat sesosok perempuan berjilbab berdiri di depan pintu, hendak mengetuk pintu, tapi keduluan dibuka Nita. “Ya Allah.. Zahra.. Ngagetin aja.. Dari mana toh, kok baru pulang jam segini.” “Hehehe.. iya maaf ukhti, tadi keasyikan ngobrol sama mbaknya ikhwan yang melamarku itu.” “Bikin khawatir orang saja. Ya udah, ayo masuk. Udah malem loh ini. Ndak baik kan perempuan jam segini masih diluar. Ukhti tau sendiri kan.” “Iya maaf ukh.” “Ayo tidur, besok kan harus ngajar.” “Iya ukhti cantiik.”
Mereka terlelap hingga shubuh, terdengar suara kokok ayam. Tak lama kemudian sang surya menampakkan dirinya di ufuk timur dengan ceria. Ia merasa bahagia telah membagi bagian dari dirinya dengan sinarnya yang hangat. Tidak hanya sang surya saja yang merasa bahagia, namun kedua perempuan jelita yang sholehah juga merasa bahagia karena bisa berbagi ilmu kepada murid-muridnya, mengamalkan apa yang selama ini di ajarkan oleh para pengajar yang setia memberikan jasa ilmu kepada setiap insan.
Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, dengan semangat Nita bercerita kepada Zahra tentang ustad yang semalam telah menolongnya. Zahra yang mendengar sangat antusias dan penasaran dengan ustad itu. “kenapa ndak kenalan saja toh? Kan lumayan gitu. Hehehe.” “Dia sudah tau namaku ukhti. Aku juga heran, dari mana ustad itu tau namaku.” “Ehem. Kalo ikhwan itu jodohmu, piye, kamu seneng opo ora?” “Ah, ukhti ini bagaimana, kalau menurutku nih ya, setiap muslimah pasti menginginkan dirinya untuk jadi pendamping hidup.” “Jadi penasaran loh aku ini. Kapan-kapan kenalin ya.” “kenalin piye, wong aku saja ndak tau namanya kok. Lagian jarang ketemu. Cuma ketemu kemaren doank pas mau ke masjid.” “Nah, aku ada ide nih. Ntar kalau ke masjid, gimana kalo nunggu ikhwan itu datang. Ya ukhti gak usah minta kenalan. Cukup nunjuk saja.” “Ah, ndak mau ah. Ngapain coba.” “ya sudah kalo ndak mau. Aku ndak maksa kok.” Tak terasa mereka sampai di sekolah dan mulai mengajar karena bel tanda masuk sudah terdengar.
Entah kenapa Nita memikirkan ustad yang menolongnya semalam. ‘Astaghfirullah. Aku ndak boleh bayangin aneh-aneh. Kalo dia memang jodohku, pasti Allah akan mendekatkan dia melalui petunjukNya yang tidak keluar dari syari’at.’ Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Nita segera siap-siap ke kantor Guru untuk menemui Zahra dan mengajak pulang.
Nita dan Zahra berjalan keluar dari masjid berbarengan setelah shalat maghrib berjama’ah. Namun Zahra berbelok ke w.c. hendak buang air. Nita menunggu di luar, depan masjid. Kemudian seorang laki-laki mengucapkan salam pada Nita. Ternyata itu adalah ustad yang kemarin menolongnya. Mereka sempat berbincang-bincang tapi cuma sebentar. Setelah itu ustad pamit, berbarengan dengan kedatangan Zahra dari w.c. Karena Zahra penasaran melihat Nita tersenyum-senyum sendiri, Zahra pun bertanya. Zahra agak kecewa karena tidak sempat melihat ustad yang di sukai Nita. Sambil berjalan, Nita bercerita besok pagi -yang kebetulan hari minggu-, setelah lari pagi bakal nunjukkin dan mengenalkan ikhwan yang telah melamarnya 2 bulan yang lalu. Nita akhirnya bisa tahu jagoan Zahra yang selama ini ia ceritakan dan di puji-pujinya.
Hingga tidak terasa, pagi itu setelah lari pagi mereka istirahat sambil duduk-duduk di kursi kayu. Sementara Zahra beli minum di warung depan, Nita bertemu dengan ustad yang di impikannya. Ustad itu hanya mengucapkan salam, kemudian berdiri sambil bersandar di pohon dekat Nita duduk. Ingin sekali rasanya mengajaknya berkenalan. Tapi di urungkan niatnya itu, karena Nita merasa tidak pantas dan tidak baik jika harus mengajaknya bekenalan. Ia hanya bisa memendam perasaan yang sudah menjalar di hatinya. Namun ia heran, kenapa ustad itu malah diam disitu. ‘ustad ini mau ngapain ya. Dateng-dateng kok malah diem dan berdiri. Sepertinya ini saatnya aku cerita ke Zahra, kalo selama ini ustad yang aku maksud ya ustad ini. Tapi kok ustadnya diem ya.. ndak ngomong apa-apa.’ Tak lama kemudian Zahra datang dan menyapa ustad itu, “Assalamu’alaikum mas Fahri.” Sambut Zahra sambil tersenyum. “Wa’alaikumus salam Zahra.” Kemudian pandangan Zahra beralih ke Nita. “Ukhti, ini ikhwan yang sering aku ceritain ke ukhti. Namanya Mas Fahri. Oh ya, ada kabar baik lagi, insyaallah bulan depan aku sama mas Fahri ngelangsungin sunnah Rasul.” Bagai di sambar petir, Nita kaget dan tidak percaya pada apa yang barusan ia dengar. Air mukanya telah berubah hanya dalam beberapa detik. Jantungnya berdegup kencang. Berbeda dengan yang kemarin, yang ini berdegup karena kaget dan kecewa. “Ukhti, kenapa? Kok kaya kaget gitu?” Nita hanya diam membisu sambil berfikir apa yang harus dia katakan pada Zahra bahwa selama ini ustad yang dikaguminya itu adalah calon suami Zahra sendiri. Karena lama menunggu Nita bersuara, akhirnya Fahri ikut bersuara, “Ehem, maaf Zahra. Aku udah kenal sama Qonita. Kemaren sempat bertemu di..” “Maaf Zahra, aku pulang duluan ya. Kepalaku tiba-tiba sakit. Assalamu’alaikum.” Kata Nita yang telah memotong pembicaraan ustad Fahri. Nita berbalik badan dan berlari. Zahra dan ustad Fahri yang melihatnya heran.
Nita duduk menyendiri di pinggir sungai yang begitu jernih. Sepi, tak ada orang. “Ya Allah, ternyata aku salah menyukai seorang ikhwan. Ternyata dia itu.. sebentar lagi sudah menjadi imam, menjadi pendamping hidupnya Zahra, teman dekat yang selama ini hidup besamaku. Aku baru bisa merasakan sakit ini, aku tau aku salah…” Tanpa Nita sadari, Zahra sudah berdiri dibelakangnya, dan mendengar semua keluhan Nita. “Nita…” Nita menoleh, dan kaget melihat Zahra ada di situ. “Za… Zahra..” Zahra memeluk Nita. Nita hanya bisa menangis, Zahra meminta maaf karena telah merasa menyakiti Nita, kemudian menghibur dan memotivasi Nita. Ia tahu kalau Nita adalah seorang perempuan kuat. Lama-lama Nita mulai sadar dan bangkit. Ia yakin Allah selalu bersamanya dan akan memberikan yang lebih dari pada ini. ‘Ya, suatu saat nanti Allah akan mengganti apa yang telah terjadi hari ini dengan yang lebih baik.’ Batinnya
Qonita tidak mau mengingat kejadian itu lagi, seolah-olah itu adalah angin yang berlalu. Ketika Zahra membawa suatu kabar baik, Qonita mampu kembali tersenyum ceria. Ada salah satu teman ustad Fahri yang sedang mencari akhwat sholehah untuk dijadikan pendamping. Ustad Fahri mencoba menanyakan pada Qonita melalui perantara Zahra. Qonita pun siap untuk mencoba berta’aruf dengannya minggu depan setelah magangnya selesai. Zahra dan Qonita berpelukan bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar